Pembunuhan Raja Berlagak Tuhan: Bagian 2

                

oleh Radian Wedagama

Cerita fiksi ini diterbitkan atas seizin pengarang sekaligus pemilik hak cipta

Atas seizin Pangeran Kertahita, aku menyelidiki kembali jenazah mendiang raja. Meski telah dimandikan, luka-luka di tubuhnya masih terlihat dengan jelas. Namun tidak lagi mengeluarkan darah, tentu saja. 

Seperti yang sudah kujelaskan, terdapat luka tusukan keris dan memar di tubuh raja. Ada tiga luka tusukan keris yang tersebar di dada, lengan kiri, dan perut. 

Awalnya, kukira luka memar hanya ada di kepala bagian belakang. Ternyata, dugaanku salah. Luka memar juga terdapat di pinggang samping kanan.

Selanjutnya, aku pergi ke kamar raja. Ruangan itu tampak lebih rapi dibandingkan ketika yang mulia ditemukan tewas pertama kali. Namun, sejumlah kerusakan masih terlihat di sudut-sudut ruangan. Seperti lemari kayu di samping kasur yang patah, kaca-kaca yang pecah, hingga perabotan yang retak.


Aku mengamati sekeliling dengan bertanya-tanya. Dari kondisinya, sudah jelas bahwa terjadi perkelahian di ruangan ini.

Apakah tidak ada satupun penjaga yang menyadari hal itu? Memang benar tembok kamar raja cukup tebal. Sehingga membuatnya kedap suara. Namun, mustahil jika tidak ada seorang pun yang menyadari sesuatu.

Selain itu, siapa yang berhasil melakukan pembunuhan? Meski kelakuannya tak beradab, Raja Alikdewa memiliki kemampuan bertarung yang mumpuni. Tubuhnya juga tinggi dan kekar, hingga membuatnya mampu mengalahkan tiga orang tentara sekaligus dalam pertandingan beladiri.

"Pasti pelakunya juga tak kalah tinggi dan kekar dengan mendiang raja,"pikirku.

Ketika sedang melangkah keluar kamar, tiba-tiba seorang pria terlihat berdiri di depan pintu. Ia tampak terkejut melihat kehadiranku, dan buru-buru membungkuk hormat begitu melihat pakaian yang kukenakan.

"Ma-maaf tuan. Tadi hamba sedang menyusuri lorong dan tak sengaja melihat pintu kamar raja terbuka," terangnya sembari menghaturkan sembah.

Aku memperhatikan pria itu dengan seksama. Usianya kira-kira tiga puluhan, dengan postur lebih pendek dariku. Namun, fisiknya cukup kekar, yang menandakan sosok pekerja keras dan tangguh.

"Tidak apa-apa," balasku ramah. "Ngomong-ngomong, apa yang anda lakukan disini?"

"Dengan segala hormat, tuan. Hamba sedang menuju Bale Wantilan untuk menawarkan perkakas kepada para pekerja proyek renovasi," jawabnya sambil menunjukkan kantung berisi alat-alat pertukangan.

Bale Wantilan di istana sendiri memang sedang diperbaiki setelah roboh diterjang angin kencang seminggu yang lalu. Pasca pembunuhan, banyak yang mengatakan bahwa peristiwa itu adalah pertanda kejatuhan Raja Alikdewa.

"Jadi, anda ini seorang pedagang?"

"Benar, tuan"

Aku pun mengangguk-angguk.

"Baiklah, kau boleh pergi"

"Terima kasih, tuan," Ia pun membungkuk dan bergegas menuju Bale Wantilan.

Tak lama kemudian, aku sudah berada di dalam kereta kuda yang membawaku ke Desa Partamyang. Terletak di wilayah pegunungan dan berjarak sekitar satu jam dari ibukota kerajaan, kebanyakan penduduk desa tersebut merupakan pegawai dan abdi kerajaan. Meski, ada pula yang bekerja sebagai petani dan peternak.

"Kita sudah sampai, Tuan Panji," kata Tanawa, seorang staf divisi mata-mata kerajaan yang turut menemaniku.

"Apa kau tahu dimana letak rumahnya?" tanyaku.

"Hamba justru pernah beberapa kali kesana, tuan," jawab Tamawa tersenyum.

"Benarkah?"

"Tentu saja, tuan," katanya berusaha meyakinkanku. "Mari hamba antar"

Kami berdua pun turun setelah kereta kuda berhenti di dekat balai desa. Ternyata, kami harus melewati pemukiman dengan jalan yang amat sempit untuk mencapai tujuan. Beruntung, kami mengenakan pakaian biasa. Sehingga tidak terlalu menarik perhatian warga ramai.

Akhirnya, sampailah kami di sebuah rumah yang terbuat dari kayu. Tampak seorang wanita sedang duduk di teras rumah. Dari parasnya, usianya kira-kira dua puluh tahun akhir.

Namun, tingkah lakunya sedikit aneh.

"Selamat siang, bu," sapaku. "Kami datang dari ibukota untuk bertemu Partayasa. Apakah ia ada disini?"

Bukannya menjawab, wanita itu justru tertawa-tawa.

"Hihihi. Coba tebak dia ada dimana"

"A-ada dimana?" tanya Tamawa dengan spontan

"Di hatimu! Buahahaha"

Sambil menepuk-nepuk lututnya, tawa wanita itu semakin keras. Bahkan tubuhnya sampai berguling-guling di tanah. Aku dan Tamawa pun saling berpandangan karena bingung.

"Matsya! Apa yang terjadi?" Tiba-tiba, seorang pria keluar dari dalam rumah. Wajahnya tampak terkejut, terlebih setelah melihat kehadiran kami.

"Silahkan diminum," kata pria itu sembari menyuguhkan teh, setelah kami dipersilahkan masuk ke dalam rumah.

Ia adalah Partayasa, seorang pengawal di lingkungan istana. Badannya kekar dan berpostur tinggi. Sorot matanya terlihat tajam namun memancarkan aura bersahabat.

Setelah peristiwa pembunuhan itu, ia dan beberapa pengawal dipecat karena dianggap lalai saat menjalankan tugas.

"Jujur, ingatan hamba benar-benar samar tentang kejadian itu" Partayasa pun memulai pembicaraan.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Partayasa?" tanyaku. "Mengawal kamar raja adalah tugasmu saat itu. Dan kau adalah pengawal paling cekatan dan waspada yang pernah kukenal"

"Bagaimana hal itu bisa luput dari perhatianmu?"

Mendengar pertanyaanku, Partayasa hanya bisa menunduk dengan ekspresi penyesalan. Dengan nada bersalah, ia mulai berbicara.

"Sebenarnya, pada malam itu, Raja Alikdewa menggelar pesta minum kecil-kecilan di istana," ucapnya lirih. "Dan para pengawal dipaksa untuk mengikutinya"

Aku pun sontak terkejut.

"Benarkah?!" kataku tak percaya

"Hamba tidak bohong, tuan," jawab Partayasa menggeleng pelan.

"Saat itu, hamba beserta pengawal yang lain sudah mencoba menolaknya dengan halus. Namun, raja justru memaki kami"

"'Bodoh!"' bentak raja. "'Jadi, kalian berani melawanku, hah?!"

"'Asal kalian tahu. Tuhan saja bahkan memilihku sebagai penggantinya karena menghormatiku. Kenapa orang rendahan seperti kalian lancang sekali?"

"'A-ampun yang mulia. Hamba tidak bermaksud melawan yang mulia,"' kataku memelas.

"'Kalau begitu, turuti perkataanku sekarang!"'

"Akhirnya, kami pun terpaksa mematuhi perintahnya dan ikut minum arak. Sialnya, kebanyakan dari kami akhirnya sempoyongan karena mabuk"

"Begitu pula dengan hamba. Sambil menahan rasa pusing, hamba mencoba berjaga di depan kamar raja"

"Namun tidak bisa. Tanpa sadar, hamba mulai duduk bersandar di tiang penyangga lorong istana dan tertidur"

"Keesokan harinya, raja ditemukan tewas, dan hamba harus kehilangan pekerjaan"

Partayasa pun menggeleng-geleng meratapi nasibnya. Aku tertegun menatap pria ini. Seorang abdi yang baik harus menanggung derita akibat majikan biadabnya. Sungguh menyedihkan.

Namun, tiba-tiba.....

"Ah!" seru Partayasa dengan mata terbelalak. Seolah-olah menyadari sesuatu yang penting.

"A-ada apa?" tanya Tamawa dengan heran.

"Hamba baru ingat," serunya menepuk jidat. "Dalam kondisi setengah sadar, hamba sempat melihat sesosok pria masuk ke kamar raja"

"Apa?!"

"Benar, tuan. Seingat hamba, pria itu baru keluar setelah cukup lama berada di dalam"

"Namun, anehnya. Kali ini ia keluar bersama bersama seorang wanita"

Aku menatap Partayasa dengan wajah bingung.

"Wanita?"       

-bersambung-

Banner iklan disini