![]() |
Para pasukan pemberontak Organisasi Papua Merdeka (OPM) berfoto bersama dengan latar bendera bintang kejora (Pinpol) |
Dikutip dari Suara.com, Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), Sebby Sambom menegaskan kelompok mereka tidak pernah sekalipun meneror warga sipil.
Sebaliknya, TPNPB justru melakukan perjuangan bersenjata demi kemerdekaan rakyat Papua, yang menurutnya selama ini selalu ditindas oleh pemerintah Indonesia.
TPNPB merupakan sayap militer dari OPM.
"Menyebut TPNPB sebagai kelompok teroris itu tidak dimungkinkan. Karena status politik dan militer di Papua ini berbeda dengan teroris seperti ISIS, JAD, dan lainnya," kata Sambom.
Bahkan, ia mengklaim bahwa dunia internasional mengakui TPNPB dan OPM sebagai freedom fighter atau 'pejuang kemerdekaan', untuk melawan TNI-Polri yang ia sebut sebagai 'teroris sebenarnya'.
"Jadi Indonesia tidak bisa main curang dengan menyebut kami teroris. Kalau itu terjadi, pasti masyarakat internasional tidak akan setuju dengan cara jahat Indonesia," tegasnya.
Oleh karena itu, pihaknya berencana untuk mengajukan kasus tersebut ke pengadilan internasional.
"Kami percaya diri bahwa kami sedang membela hak sebuah bangsa," kata Sambom.
Senada dengan Sambom, Eks Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai juga menolak sebutan teroris kepada KKB Papua.
Menurutnya, mereka sedang memperjuangkan kemerdekaan bagi daerah mereka, dan hal itu mendapatkan pengakuan dari PBB.
"Dari simbol-simbol negara dan bangsa, OPM tidak menganut ideologi maut. Lahir lebih dulu dari NKRI. Bintang kejora tahun 1942, sementara Merah Putih tahun 1944," kata Pigai, dilansir dari Fajar.co.id.
"Untuk itu, pemerintah tidak bisa melabeli mereka sebagai teroris," lanjutnya.
![]() |
Para demonstran sedang berunjuk rasa menuntut kemerdekaan Papua di Australia (Devpolicy) |
Ia juga menuding Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD sedang membangun citra negatif kepada rakyat Papua ketika menyebut 'Organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif sebagai teroris'.
"Mahfud sebut orang-orang Papua, itu bisa orang gereja, sipil, atau aktivis-aktivis yang lain," kata Pigai.
"Kita ini sudah tahu kalau bicara terorisme itu sudah masuk intoleransi. Kalau KKB atau separatis itu sudah jelas subjeknya," tegasnya.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia memutuskan untuk melabeli KKB Papua sebagai teroris, pasca baku tembak yang menewaskan Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua, Mayjen TNI Anumerta I Gusti Putu Danny Karya Nugraha.
Kekhawatiran Baru
Pelabelan KKB Papua sebagai teroris juga membuat organisasi serta aktivis HAM cemas. Mereka khawatir kebijakan ini dapat menghentikan upaya negosiasi antara Indonesia dengan OPM.
Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Setara Institute menyebut kebijakan tersebut tidak akan efektif mengatasi masalah di Papua.
Bahkan, menurutnya hal ini justru memperparah konflik yang terjadi.
"Setara Institute berpandangan dengan pelabelan organisasi teroris kepada kelompok bersenjata di Papua, apalagi jika pelabelan itu melebar kepada kelompok pro kemerdekaan Papua yang berjuang secara damai, akan membuat penyelesaian konflik di Papua menjadi kontra produktif," ujar Bonar.
Ia juga menyebut kegagalan aparat keamanan dalam melumpuhkan organisasi bersenjata disebabkan kurangnya dukungan dan kepercayaan masyarakat setempat.
Pelabelan teroris kepada KKB Papua sama saja dengan menutup ruang negosiasi dan perundingan, serta menimbulkan luka sosial baru bagi rakyat Papua, yang selama ini mengalami diskriminasi ekonomi dan rasisme.
Namun, pemerintah Indonesia menyebut penetapan teroris tersebut demi menghentikan aksi kekerasan yang kerap dilakukan KKB Papua.
Pada Desember 2018, TPNPB menyerang proyek Trans Papua, yang menyebabkan tewasnya 31 pekerja. Ketika itu, para korban sedang membangun jembatan di Kali Yigi-Kali Aurak, Distrik Yigi, Kabupaten Nduga.
Menurut data kepolisian, TPNPB juga melakukan kekerasan sebanyak 29 kali di wilayah Papua selama tahun 2019.
Sedangkan tahun 2020, TPNPB melakukan 46 serangan kepada warga sipil dan TNI/Polri, yang menewaskan sembilan orang dan melukai 23 lainnya.
Berdasarkan polanya, kebanyakan serangan di Papua menyasar warga pendatang dan aparat keamanan.
Semua insiden tersebut membuat pemerintah menganggap punya alasan kuat untuk menetapkan TPNPB-OPM sebagai teroris
Social Plugin