Kisah Yaman Selatan, Negara Komunis Satu-Satunya di Tanah Arab

 

Sebuah perangko Yaman Selatan yang merayakan hari jadi Uni Soviet ke-60 tahun | Colnect

Selama lebih dari sepuluh tahun, Yaman dilanda konflik dan perang saudara yang tidak kunjung selesai. 

Ketika Revolusi Musim Semi Arab melanda Timur Tengah, Yaman adalah salah satu negara yang terkena dampaknya.

Tahun 2011, sebuah demonstrasi menuntut mundurnya Presiden Ali Abdullah Saleh pecah di Sana'a, ibukota Yaman.

Saleh, yang telah berkuasa selama 33 tahun, berjanji tidak akan mengikuti pemilihan umum (pemilu) lagi, dan mundur ketika masa jabatannya habis.  

Akan tetapi, pergolakan rakyat tidak kunjung mereda. Sebaliknya, unjuk rasa menyebar ke seluruh penjuru negeri. 

Dalam waktu singkat, protes semakin tidak terkendali. Saleh pun bereaksi keras dengan menurunkan pasukan bersenjata dan pendukung setianya untuk menghadapi demonstran.

Selanjutnya sudah bisa ditebak. Korban jiwa berjatuhan dimana-mana. Pada Maret 2011, sebanyak 45 demonstran tewas setelah ditembaki oleh pasukan Yaman.

Demonstran anti-pemerintah menghancurkan kendaraan milik kubu pendukung Saleh di Sana'a, Yaman pada April 2011 | AFP

Musuh-musuh politik Saleh mencoba membalas penembakan tersebut dengan melancarkan upaya pembunuhan.

Awal Juni 2011, sebuah bom yang meledak di dekat istana kepresidenan Yaman membuat Saleh mengalami luka cukup serius, dan harus dirawat di Arab Saudi

Insiden tersebut membuat sikap Saleh melunak. Pada November 2011, ia menyetujui kesepakatan untuk mengalihkan kekuasaan kepada Wakil Presiden Yaman Abdrabbuh Mansur Hadi.

Ketika referendum digelar, Hadi yang merupakan calon presiden tunggal, berhasil meraih 99,8 persen suara sah.

Saleh resmi menyerahkan kursi pemimpin Yaman kepada Hadi pada 27 Februari 2012, setelah 33 tahun berkuasa. Menurut rencana, Hadi akan memimpin masa peralihan, hingga pemilu presiden digelar pada 2014.

Dalam pidato pertamanya, Presiden Hadi memperingatkan bahwa Yaman masih bergolak dan sama sekali belum aman

Ia mengajak masyarakat saling kerjasama membangun kembali negara, dan berharap peralihan kekuasaan berlangsung damai selama dua tahun.

"Saya berharap kita akan bertemu lagi di ruangan ini lagi untuk mengucapkan salam perpisahan dan menyambut kedatangan pemimpin baru," kata Hadi.

"Saya berharap dalam dua tahun, saya akan berdiri di tempat Presiden Saleh, dan seorang presiden baru berdiri di tempat saya"

Abdrabbuh Mansur Hadi ketika dilantik menjadi presiden Yaman pada 2012 | AFP

Namun, Yaman tetap saja tenggelam dalam perseteruan politik dan konflik berkepanjangan.

Disaat bersamaan, kejatuhan Saleh membuat posisi pemberontak Houthi semakin kuat. 

Houthi merupakan kelompok bersenjata Yaman beraliran Syiah. Mereka mendapatkan dukungan kuat dari Iran, mulai dari pelatihan militer, hingga persenjataan seperti senapan mesin serta drone.

Sejak akhir 2014, satu persatu wilayah di Yaman jatuh ke tangan mereka. 

Puncaknya, pada Januari 2015, milisi Houthi berhasil mengambil alih ibukota Sana'a, dan membuat Presiden Hadi mengundurkan diri.

Milisi syiah Houthi memamerkan senjata mereka setelah berhasil merebut ibukota Sana'a | Reuters

Namun, Hadi tidak menyerah begitu saja. Ia berhasil melarikan diri ke Aden, dan membentuk pemerintahan baru Yaman disana.

Aden merupakan kota pelabuhan penting yang terletak di wilayah selatan Yaman. Langkah Hadi secara tak langsung bikin Yaman pecah menjadi dua. 

Yaitu wilayah utara yang dipimpin Houthi, dan wilayah selatan pimpinan Hadi.

Setelah beberapa tahun terbelah, sebuah gerakan politik besar muncul di wilayah selatan. 

Dewan Transisi Selatan (STC), demikian kelompok ini menamakan diri, melancarkan aksi protes besar-besaran pada 2017.

Dengan membawa bendera biru bintang merah dan simbol berbau komunis, mereka menuntut agar wilayah selatan diberi kemerdekaan sebagai negara berdaulat.

Aksi tersebut berubah menjadi pertempuran bersenjata, yang membuat STC berhasil merebut kota Aden, dan membentuk pemerintahan sendiri di wilayah selatan pada Agustus 2019.

Para milisi STC mengibarkan bendera komunis Yaman Selatan setelah merebut kota Aden, Agustus 2019 | Reuters

Kekuasaannya kembali jatuh, Hadi pun terpaksa melarikan diri ke Arab Saudi, dan tidak pernah kembali sejak saat itu.

Perkembangan terkini di Yaman kembali mengingatkan kita ke masa Perang Dingin. 

Seperti Korea saat ini, Yaman pernah terbelah menjadi dua negara berbeda, yakni Yaman Utara yang demokratis, dan republik komunis Yaman Selatan.

Beda Penguasa, Beda Negara

Peta jazirah Arab ketika Yaman (kotak merah) dikuasai oleh dua penguasa pada 1873 | iStock

Selama ratusan tahun, wilayah Yaman telah dikuasai oleh dua penguasa yang berbeda. 

Yaman Utara merupakan salah satu vilayet (provinsi) Kesultanan Ottoman selama hampir 400 tahun, sebelum menjadi bagian dari Kerajaan Muttawakil Yaman hingga tahun 1970.

Sementara Yaman Selatan, yang lebih dikenal dengan nama Hadramaut, dikuasai oleh beberapa kesultanan, yaitu Qu'aiti, Lahej, Mahra, dan Kathiri, serta suku-suku padang pasir.

Pada abad ke-19, negara-negara tersebut berhasil ditaklukkan oleh Inggris, dan menjadi koloni bernama British Aden Protectorate atau Proktektorat Aden Inggris pada 1872.

Meski demikian, para sultan dan penguasa lokal tetap memimpin pemerintahan dalam negeri, sementara urusan militer, perdagangan, dan hubungan luar negeri diatur oleh Inggris.

Selama Inggris berkuasa, Aden berkembang menjadi kawasan perdagangan yang makmur. Kapal-kapal dagang yang melintasi Terusan Suez singgah di wilayah ini, sebelum melanjutkan perjalanan ke Eropa atau Asia.

Letaknya yang strategis ini pula yang membuat Inggris kepincut untuk menguasainya. 

Mereka juga ingin memanfaatkan Aden sebagai basis untuk mengamankan rute perdagangan ke India, yang sama-sama dijajah Inggris.

Aktivitas kapal dagang di Aden tahun 1930-an | The Reader

Pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1939 hingga 1945, serta menguatnya posisi kubu anti-penjajahan di dalam negeri membuat kontrol Inggris atas koloni mereka semakin lemah.

Satu persatu wilayah jajahan mulai diberikan kemerdekaan, termasuk India. 

Ketika India resmi menjadi negara berdaulat, koloni di Yaman menjadi kurang penting. Akan tetapi, Inggris belum berniat untuk melepas jajahan mereka di selatan Arab tersebut, setidaknya sampai awal 1960-an.

Pada tahun 1959, Inggris mendirikan Federasi Emirat Selatan sebagai pengganti Proktetorat Aden.  Namun, para penguasa di Hadramaut Timur menolak untuk bergabung dalam federasi ini.

Sebagai gantinya, Inggris membentuk Protektorat Arab Selatan untuk menaungi daerah-daerah yang menolak. Keputusan ini merupakan langkah awal untuk memberikan Yaman Selatan kemerdekaan penuh tahun 1968.

Meski demikian, tujuan sebenarnya pendirian dua pemerintahan itu adalah membendung gerakan sosialis-komunis dan Nasionalisme Arab.

Akhir dekade 1940-an, sosialis dan komunis menjadi ideologi populer di negara-negara yang baru merdeka. Dalam waktu sepuluh tahun, ada sekitar 11 negara komunis baru yang berdiri, terbentang dari Asia hingga Amerika.

Sementara paham Nasionalisme Arab mulai digandrungi setelah Gamal Abdul Nasser naik menjadi Presiden Mesir. Nasser menjadi penggerak utama perkembangan paham ini di tanah Arab.

Awalnya, Inggris tidak terlalu menentang Nasionalisme Arab. Namun, penganut paham ini memiliki kedekatan yang sangat erat dengan blok komunis dan gerakan anti-Barat. 

Bahkan, Uni Soviet membantu pemerintahan Nasser membangun bendungan Aswan, yang terbesar di dunia, serta mendukung nasionalisasi Terusan Suez di Mesir

Menurut Inggris, kedua ideologi tersebut dapat mengancam kepentingan mereka di kawasan. 

Mereka pun berusaha memberikan kemerdekaan Yaman Selatan dengan para sultan, yang pro-Inggris tentunya, sebagai penguasa.

Petugas keamanan kolonial Inggris di Aden, Yaman Selatan tahun 1960-an | IWM

Pada tahun 1963, sebuah kelompok perjuangan kemerdekaan bernama Front Pembebasan Nasional (NLF) resmi berdiri di Yaman Selatan.

Kelompok ini dibentuk oleh aktivis komunis dan nasionalis Arab untuk menentang kekuasaan para sultan. Hanya dalam waktu setahun, mereka langsung mengobarkan revolusi.

Pecahnya konflik antara Inggris dan NLF menimbulkan krisis yang dikenal sebagai Aden Emergency (Pemberontakan Radfan menurut Yaman Selatan) pada 1964. 

Saat awal revolusi, kubu komunis dan nasionalis Arab mampu bekerja sama dalam melawan militer Inggris. Namun, perpecahan mulai muncul ketika kubu komunis semakin radikal, dan mendominasi NLF.

Kaum nasionalis, yang tidak ingin Yaman Selatan menjadi negara komunis, membentuk organisasi sendiri bernama Front Pembebasan Pendudukan Yaman Selatan (FLOSY) pada tahun 1965.

Akibatnya, NLF dan FLOSY saling hantam satu sama lain, disamping tetap bertarung melawan Inggris. Nasser turut ikut campur dalam konflik dengan mendukung FLOSY, dan menangkap petinggi NLF di Mesir.

Prajurit Inggris menangkap seorang warga Yaman yang diduga berkomplot pada musuh | Alamree

Tahun 1967, pemberontakan yang semakin luas dan didukung rakyat membuat Inggris semakin kelelahan. 

Mereka pun memutuskan untuk segera menarik diri dari Yaman Selatan, dan memberikan kemerdekaan lebih cepat dari jadwal.

Ketika gubernur kolonial terakhir, Sir Humphrey Travelyan meninggalkan posnya, ia tidak menunjuk pemerintahan pengganti.

Alhasil, terjadi kekosongan kekuasaan di Yaman Selatan.

Situasi ini segera dimanfaatkan oleh NLF dan FLOSY.  Namun, bukannya kerjasama, mereka justru saling menembak, hingga menimbulkan perang saudara.

Di tahun yang sama, Mesir kalah dalam Perang Enam Hari melawan Israel. Hal ini memaksa Nasser untuk menarik pasukannya dari Yaman Selatan, meninggalkan FLOSY sendirian.

Akhirnya, pertempuran berhasil dimenangkan oleh NLF. Republik Demokratik Rakyat Yaman berdiri sebagai negara komunis pertama di Timur Tengah pada 30 November 1967.

Perkembangan Negara

Prajurit wanita Yaman Selatan dalam parade militer tahun 1970-an | Pinterest

Layaknya negara komunis lain, Yaman Selatan menerapkan sistem negara satu partai. 

Partai Sosialis Yaman dibentuk sebagai kekuatan politik tunggal pada tahun 1969, menggabungkan banyak partai dalam satu kesatuan (fusi)

Sejak berdiri, Yaman Selatan harus menghadapi sejumlah tantangan berat

Sebagian besar wilayahnya tidak subur dan minim sumber daya. Mereka memang punya lautan yang kaya ikan, namun potensi tersebut kurang dimanfaatkan dengan baik.

Penutupan Terusan Suez akibat Perang Mesir-Israel tahun 1967 juga membuat aktivitas di pelabuhan Aden berkurang drastis.

Namun, salah satu faktor terbesar keterpurukan ekonomi adalah sistem perekonomian terpusat, dimana semua sektor produksi dikuasai oleh negara.

Sistem ini mendorong pemerintah untuk merebut semua perusahaan asing, dan menjadikannya badan usaha negara.

Akibatnya, investor segera menarik uang mereka ke negara lain, membuat lapangan kerja tutup berjamaah.

Seiring berjalannya waktu, pemerintah Yaman Selatan melonggarkan aturan dengan menerapkan sistem ekonomi campuran sosialis-kapitalis.

Keputusan menjadikan komunisme sebagai ideologi resmi negara membuat Yaman Selatan dimusuhi tetangganya, terutama Arab Saudi.

Akan tetapi, mereka berhasil membangun hubungan erat dengan Kuwait, salah satu negara kaya minyak di kawasan.

Kuwait menjadi salah satu penyokong ekonomi terbesar bagi Yaman Selatan, disamping negara komunis seperti Uni Soviet, Jerman Timur, Yugoslavia, dan sebagainya.

Peta Yaman Selatan (merah), yang mencakup Hadramaut dan Aden | Wordpress

Meski memiliki segudang keterbatasan, Yaman Selatan cukup sukses dalam pembangunan infrastruktur dan sosial masyarakat.

Pemerintah berhasil membangun sistem kesehatan yang kuat, termasuk mendirikan rumah sakit dan sekolah di wilayah pedesaan, meskipun populasi penduduknya sedikit.

Kesetaraan gender juga berkembang melalui sistem edukasi bagi kaum perempuan. 

Banyak wanita berhasil mengenyam pendidikan tinggi, dan meraih profesi tinggi. Mulai dari dokter, insinyur, sampai anggota militer.

Sayangnya, pencapaian positif yang sama tidak terjadi di ranah politik, yang dikenal penuh darah dan konflik internal.

Pada tahun 1978, sebuah kudeta berdarah dilancarkan oleh Ali Nasir Muhammad dan kelompoknya terhadap Salim Rubai Ali, pemimpin tertinggi Yaman Selatan.

Dalam peristiwa itu, Rubai Ali tewas setelah dieksekusi mati di Istana Almodowar, Aden.

Selama lima tahun, Nasir memimpin Yaman Selatan yang terus bergejolak dan penuh kerusuhan.

Kembalinya musuh politik seperti Abdul Fattah Ismail dari pengasingan memicu insiden paling berdarah dalam sejarah negara itu.

Perang saudara Yaman Selatan pecah pada 13 Januari 1986, melibatkan kubu Nasir dan Ismail, serta suku-suku yang saling berseteru.

Pertempuran berakhir dengan hancurnya kedua belah pihak. Ismail dinyatakan tewas setelah menghilang secara misterius, sementara Nasir mengasingkan diri ke Yaman Utara.

Meski hanya berlangsung selama 11 hari, jumlah korban tewas mencapai 4.000-11.000 orang, sedangkan 60.000 warga mengungsi ke negara lain.

Peristiwa 1986 juga menjadi titik balik bagi pemerintahan komunis Yaman Selatan. Secara bertahap, posisi mereka semakin melemah. 

Ali Salem al Beidh, salah satu dari sedikit tokoh awal NLF yang tersisa, menjadi pemimpin selanjutnya. 

Namun, ia tidak memiliki kualitas kepemimpinan yang baik, sehingga tidak mampu mengembalikan kepercayaan rakyat kepada rezim komunis, yang anjlok pasca perang saudara.

Hal ini diperparah dengan kejatuhan pemerintahan komunis di Eropa Timur, Afrika, dan Asia. Uni Soviet, superpower blok komunis, semakin kehilangan taringnya sebelum runtuh tahun 1991.

Akibatnya, dukungan dari sesama negara komunis berkurang drastis, dan pemerintah Yaman Selatan semakin sulit pertahankan kekuasaan mereka.

Bersatu dengan Tetangga

Upacara pengibaran bendera persatuan Yaman Selatan dan Utara tahun 1990 | Almoheet

Pada akhir 1980-an, sebuah sumber minyak baru ditemukan di wilayah Ma'rib dan Shabwah, yang terletak di perbatasan Yaman Utara dan Selatan.

Ma'rib berada di teritori Yaman Utara, sementara Shabwah merupakan bagian dari Yaman Selatan.

Penemuan sumber minyak ini membawa harapan bagi kedua negara, yang sama-sama mengalami problem sosial dan konflik internal.

Yaman Selatan dan Utara pun memulai negosiasi, yang kemudian mengarah pada rencana penyatuan (unifikasi) dua negara.

Pada Mei 1988, kedua pemimpin negara sepakat untuk mengelola ladang minyak tersebut bersama-sama, melalui pendirian Kongsi Yaman untuk Investasi Sumber Daya Mineral dan Minyak (YCIMOR)

Dalam waktu satu tahun, rencana unifikasi berkembang sangat cepat. 

Pada 30 November 1989, Presiden Yaman Utara Ali Abdullah Saleh, dan Al-Beidh menandatangani draf konstitusi sebagai landasan bagi negara Yaman yang bersatu.

Awal 1990, diskusi tentang unifikasi sudah merambah ke hal-hal teknis, seperti pembagian kekuasaan, dan sistem politik yang akan diterapkan.

Melalui rangkaian perundingan, akhirnya diputuskan bahwa Saleh (Utara) akan menjabat sebagai Presiden Yaman, sementara Al-Beidh (Selatan) menjadi wakil presiden.

Puncaknya, pada 22 Mei 1990, Yaman resmi bersatu untuk pertama kalinya setelah ratusan tahun.

Namun, impian serta harapan dari persatuan justru tidak terwujud. 

Politisi serta masyarakat wilayah selatan merasa bahwa Saleh dan pihak utara ingkar janji karena melucuti kekuatan politik mereka secara perlahan.

Selain itu, kecenderungan Saleh yang dekat dengan kubu islamis, terutama Wahabi sangat dibenci oleh pihak selatan, yang selama ini terbiasa hidup dalam masyarakat sekuler dan prograsif.

Tak butuh waktu lama bagi kedua pihak untuk bermusuhan. 

Pada tahun 1993, Al-Beidh beserta sejumlah politisi selatan mundur dari pemerintahan, dan mendirikan Republik Demokratik Yaman (DRY) setahun kemudian.

Pemerintahan baru ini mengklaim seluruh wilayah bekas Yaman Selatan, dan didukung penuh oleh rakyat. 

Sayangnya, eksistensi mereka tidak mendapat pengakuan dunia internasional. Dalam waktu cepat, DRY berhasil dikalahkan oleh pasukan Saleh.

Namun, perjuangan rakyat selatan untuk memisahkan diri terus membara, hingga berhasil merebut kontrol penuh atas Hadramaut dan Aden tahun 2019.

Apakah Yaman Selatan akan jadi negara merdeka untuk kedua kalinya?

Akankah mereka kembali menjadi komunis, ketika ideologi tersebut telah usang dan semakin ketinggalan jaman?





 










Banner iklan disini