|
CEO Miniso Ye Guofu (kiri) dan Tadashi Yanai, pendiri Uniqlo | Liputan 6, Detik.com |
Beberapa tahun terakhir, kehadiran Miniso telah menjadi primadona bagi konsumen tanah air.
Toko ritel yang menjual peralatan rumah tangga, aksesoris, hingga barang elektronik kecil ini mulai beroperasi di Indonesia sejak tahun 2016 silam.
Meski tergolong baru, Miniso berhasil membuka 124 gerai di seluruh Indonesia dalam waktu dua tahun saja.
Selain karena produk yang memiliki desain menarik, berkualitas, dan ramah di kantong, salah satu nilai jual Miniso adalah citra sebagai brand Jepang.
Citra tersebut dibangun dengan dua unsur penting. Pertama, logo Miniso berbentuk persegi yang menampilkan huruf Katakana (aksara Jepang) disamping huruf Latin.
Sekilas, desain logo Miniso sangat mirip dengan logo Uniqlo, sebuah ritel pakaian populer yang didirikan oleh Yanai Tadashi, miliarder dan orang terkaya di Jepang.
Sehingga, Miniso dianggap masih dalam satu manajemen dengan Uniqlo.
Kedua, desainer produk asal Jepang, Miyake Junya merupakan pendiri Miniso. Miyake disebut sebagai perancang sebagian besar produk Miniso, dan menjadi sampul perusahaan di berbagai event dan media massa.
|
Miyake Junya, desainer Jepang dan pendiri Miniso | Miniso.com |
Namun, perlahan kebenaran mulai terkuak. Miniso ternyata bukan jaringan ritel asal Jepang, melainkan Cina. Kantor pusatnya berada di Guangzhou, Cina, bukan berada di Tokyo, Jepang seperti yang diklaim selama ini.
Perusahaan ini juga bukan didirikan oleh Miyake, melainkan seorang pengusaha Cina bernama Ye Guofu. Seorang pengguna Twitter, @Ratzilla menyebut Miyake sebagai "seorang aktor" yang dipakai untuk menampilkan citra sebagai merk Jepang. Info tersebut ia dapat dari sebuah artikel berita lokal di Cina.
Logo yang mereka gunakan murni hasil jiplakan dari Uniqlo, serta jaringan ritel peralatan rumah tangga Muji yang juga berasal dari Jepang.
Namun, logo Miniso hampir 100% mirip dengan Uniqlo. Belum diketahui apakah Uniqlo akan melayangkan gugatan hak cipta.
Terbongkarnya kedok Miniso berawal dari insiden yang terjadi di Spanyol. Salah satu akun cabang Miniso disana memposting foto mainan putri Disney dengan pakaian cheongsam Cina. Namun, mereka malah melabeli boneka itu sebagai geisha Jepang.
Kesalahan promosi ini memicu kemarahan publik Cina, khususnya kelompok nasionalis dan sentimen Anti-Jepang. Mereka beramai-ramai menyatakan tidak akan belanja di Miniso lagi.
Mengapa Miniso berusaha begitu keras menyebut diri sebagai merk Jepang? Apakah mereka tidak bangga sebagai perusahaan Cina?
Ternyata semua ini tidak lepas dari perilaku konsumen Cina sendiri. Mereka lebih suka membeli produk Jepang karena dianggap berkualitas tinggi, berbeda dengan produk lokal. Dengan berpura-pura sebagai brand Jepang, Miniso dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Ternyata, urusan jiplak-menjiplak ini tidak hanya dilakukan oleh Miniso saja. Ada banyak perusahaan Cina lain yang punya kelakuan sama.
Plagiat Seenaknya
|
Gerai Cina yang plagiat merk terkenal seperti KFC, Burger King, dan Pizza Hut | Irish Post |
Budaya plagiat di Cina sudah dimulai jauh sebelum era industri, tepatnya pada masa Dinasti Qing.
Pada abad ke 18 dan 19, hubungan perdagangan dengan negara barat seperti Inggris meningkat pesat dalam waktu seratus tahun, meski Cina menerapkan politik isolasi yang cukup ketat. Mereka melabeli semua orang asing, termasuk bangsa Eropa sebagai "kaum barbar"
Namun, Zhang Zhilong, seorang pejabat pemerintah provinsi tahu bahwa ilmu pengetahuan barat jauh lebih unggul dibandingkan ilmu pengetahuan mereka.
Saran tersebut diikuti betul oleh bangsa Cina. Mereka mulai mempelajari teknologi barat dengan cara membuat barang tiruan. Lambat laun, kebiasaan tersebut berubah menjadi "budaya" yang disebut Shanzhai.
Secara etimologis, Shanzhai (
山寨) dapat diterjemahkan sebagai "kamp gunung" atau "bandit gunung". Namun, saat ini Shanzhai merupakan bahasa
slang untuk industri produk bajakan
Dengan ekosistem kolaboratif ini, produsen dapat memproduksi dan menjual barang secara cepat dengan "mendompleng"merk terkenal.
Kalau pergi di Cina, kita akan sering melihat barang palsu yang menyerupai brand populer. Misalnya, sepatu Adidas palsu, produk Nike palsu, sampai ponsel iPhone palsu (lengkap dengan lambang apel tergigit yang dimodifikasi)
|
Adidas, iPhone, dan Nike palsu di Cina | Twitter, Hongkiat, China Mike |
Shenzen merupakan pusat dari aktivitas Shanzhai di Cina. Di kota pelabuhan yang berbatasan langsung dengan Hong Kong ini, terdapat 20.000 perusahaan Shanzhai yang beroperasi. Hanya di satu kota saja. Belum dihitung di kota-kota Cina lainnya.
Perusahaan besar seperti Huawei dan Lenovo (Cina), bersama Apple (AS) dan Samsung (Korea Selatan) mencoba berbagai cara agar produk mereka tidak bisa dibajak dengan mudah.
Miniso sendiri juga tidak luput dari tuntutan hukum. Pada tahun 2019,
mereka menghadapi 68 gugatan, dimana 40 diantaranya terkait pelanggaran hak cipta. Padahal, tahun yang sama Miniso resmi melantai di Wall Street, AS.
Terkait insiden baru-baru ini, Miniso kembali menghadapi tuntutan hukum di AS, salah satunya dilayangkan oleh firma hukum
Bernstein Liebhard LLP.
Mulai Hancur
|
Pasar barang elektronik bajakan di Shenzhen, Cina | Vagabound Journey |
Selama sepuluh tahun terakhir, Cina menyaksikan pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat. Sebanyak
600 juta orang penduduk mereka terbebas dari kemiskinan, dan kelas menengah baru bermunculan.
Alhasil, daya beli masyarakat semakin meningkat. Mereka mulai memilih produk asli yang berkualitas ketimbang barang palsu.
Hal ini menjadi mimpi buruk bagi perusahaan-perusahaan Shanzhai, yang kebanyakan beroperasi dalam skala kecil.
Pada tahun 2012, misalnya, ada ribuan perusahaan Shanzhai yang gulung tikar karena produk mereka tidak laku di pasaran. Tujuh tahun kemudian,
sebanyak 2.000 toko di pasar barang bajakan Huaqiangbei, Shenzhen tutup permanen karena bangkrut.
Pemerintah Cina juga menjadi faktor terpenting dari "kiamat" Shanzhai. Sejak tahun 2009, pihak berwenang memperketat perlindungan hak kekayaan intelektual dengan
menggodok Undang-Undang Anti-Shanzhai.
Langkah ini merupakan
respon dari kekhawatiran banyak investor asing, bahwa teknologi atau produk mereka dapat dibajak dengan mudah jika menggunakan layanan atau bekerja sama dengan perusahaan Cina. Terancam ditinggal investor, negara mana yang tidak ketar-ketir.
Disisi lain, Cina mulai merintis perekonomian yang
berbasis kreativitas dan inovasi, bukan dari bajak-membajak. Hal ini ditegaskan dalam kongres ke-18 Partai Komunis Cina (PKC) tahun 2012.
Meski demikian, Cina tetap saja menjadi produsen barang bajakan terbesar di dunia. Berdasarkan data pada April 2022, sekitar
83% dari total barang bajakan di pasar dunia berasal dari wilayah Cina dan Hong Kong (sebenarnya mereka satu negara yang sama sejak 1997).
Kebutuhan barang bajakan juga menunjukkan tren peningkatan secara global belakangan ini, terutama dari negara pendapatan rendah. Maka dari itu, Shanzhai tidak akan mati dalam waktu dekat, meskipun pemainnya tumbang satu persatu.
Social Plugin