Taliban Makin Berkuasa, Para Pengungsi Afghanistan Jalan Kaki Sampai Turki dan Eropa

 

Ribuan pengungsi Afghanistan berjalan kaki menuju sejumlah negara | Anadolu



Sejak penarikan pasukan Amerika Serikat (AS), satu persatu wilayah Afghanistan jatuh ke tangan Taliban.

Hingga Sabtu (14/8/2021), Taliban telah menguasai 12 dari 34 ibukota provinsi di Afghanistan. Yang terbaru, mereka berhasil menduduki kota Mazar-i-Sharif, yang terletak dekat dengan perbatasan Uzbekistan.

Pendudukan Mazar-i-Sharif tersebut membuat Taliban semakin dekat dengan ibu kota Afghanistan, Kabul. Menurut pejabat AS, Kabul bisa jatuh dalam waktu 90 hari jika kondisi seperti ini terus berlanjut.

Hal ini menimbulkan ketakutan masyarakat. Pasalnya, ketika memerintah Afghanistan pada tahun 1996 hingga 2001, Taliban menerapkan kebijakan yang sangat ekstrem. Mulai dari melarang pendidikan bagi wanita, pembungkaman oposisi, hingga mengharamkan teknologi modern.

Mereka juga diketahui melakukan pembantaian, eksekusi massal, dan penyiksaan terhadap warga yang menentang mereka.

Di bawah Taliban, kehidupan di Afghanistan seolah mundur jauh ke abad pertengahan, sebagaimana dilansir Human Rights Watch (HRW).

Para anggota Taliban dalam sebuah parade bersenjata | Republika


Alhasil, ribuan warga Afghanistan berbondong-bondong meninggalkan tanah air mereka. Mereka mengungsi ke sejumlah negara tetangga. Bahkan, ada pula yang rela berjalan kaki sejauh ribuan kilometer untuk mencapai tempat yang jauh, seperti Turki dan negara-negara Eropa.

Melintasi Gunung dan Bukit

Para pengungsi Afghanistan harus melewati pegunungan dan perbukitan terjal untuk mencapai Turki | Getty Images

Dikutip dari BBC Indonesia, para pengungsi Afghanistan berjalan kaki melintasi perbatasan antar negara menuju Turki dan Eropa melalui Pakistan dan Iran. Karena Afghanistan merupakan negara yang terkurung daratan, mereka harus melintasi berbagai gunung dan bukit yang terjal.

"Dari Pakistan, kami pergi ke Iran dan memasuki Turki," kata Hassan, salah seorang pengungsi.

"Saat ini Afghanistan tengah berperang, dan kami tidak memiliki uang. Taliban ada dimana-mana, dan situasi semakin memburuk. Yang kami inginkan hanyalah hidup tenang"

Hassan mengatakan, perempuan dan anak-anak juga ikut berjalan kaki, namun banyak dari mereka tidak sanggup bertahan.

"Kami menemukan empat hingga lima jenazah selama perjalanan ke sini," tambahnya.

Pengungsi lainnya, Ismail membeberkan perlakuan Taliban terhadap dirinya dan masyarakat Afghanistan yang lain.

"Taliban menyerbu rumah-rumah kami, dan menculik pemuda seperti saya," terang Ismail dengan nada getir.

"Lalu, kami pun diberikan senjata dan dipaksa berperang. Banyak dari kami yang akhirnya mati begitu saja"

"Mereka melakukannya ke semua orang, dan mengambil alih semua tempat. Jadi saya memutuskan untuk kabur saja. Ayah saya sendiri telah ada di Turki sejak tujuh tahun lalu, dan saya sangat merindukan nya"

Namun, meski berhasil lari dari Afghanistan, beberapa pengungsi juga harus kehilangan anggota keluarga mereka selama perjalanan. Mirisnya, mereka terpisah di tangan para petugas keamanan, yang seharusnya turut melindungi mereka

Petugas keamanan Turki mencoba mengejar pengungsi Afghanistan yang melarikan diri di Van, Turki | Getty Images

"Saya datang ke Turki untuk menuju Yunani. Namun saya kehilangan istri dan anak perempuan saya di perjalanan," kata Mohammed, seorang pengungsi, dengan berurai air mata.

"Kami berangkat dari Iran untuk memasuki perbatasan Turki. Namun, polisi perbatasan menyergap dan menembaki kami. Saya lalu terpisah dengan mereka, dan terpaksa melanjutkan perjalanan bersama anak laki-laki saya," terangnya, sembari menunjuk bocah laki-laki di pangkuannya.


Mencari Perlindungan dan Hak Asasi Manusia

Meski mengalami berbagai rintangan hingga harus bertaruh nyawa, Eropa tetap menjadi tujuan utama para pengungsi Afghanistan. Menurut mereka, kedua negara tersebut memperlakukan masyarakat dengan "lebih manusiawi"

"Afghanistan tidak menghargai kami sebagai manusia," terang salah satu pengungsi, yang tidak diketahui namanya.

"Sedangkan Eropa menghormati Hak Asasi Manusia (HAM). Itulah sebabnya kami ingin pergi ke Eropa"

Meski demikian, masyarakat Turki dan negara-negara Eropa telah mendesak pemerintah mereka untuk segera menutup perbatasan dari para pengungsi. Mereka takut kehadiran para pengungsi justru meningkatkan angka kriminalitas, pengangguran, dan kemiskinan. 

Apalagi di tengah pandemi Covid-19 ini, sejumlah negara tujuan pengungsi mengalami krisis ekonomi yang cukup parah.

"Ya, mereka juga manusia, tapi kami rasa ini sudah cukup," kata seorang warga Turki.

"Kondisi ekonomi kami semakin memburuk, kaum muda kesulitan mencari pekerjaan"

"Mereka (pengungsi) datang dari segala penjuru. Saat ini saya merasa sebagai pengungsi di negara saya sendiri"

Petugas keamanan memeriksa para pengungsi Afghanistan di Turki | Washington Post

Akan tetapi, seiring meningkatknya kekuatan Taliban, beberapa negara Eropa mulai melonggarkan kebijakan mereka terkait pengungsi.

Pada tanggal 12 Agustus 2021, Perancis memutuskan untuk menghentikan deportasi terhadap pengungsi Afghanistan. Menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri Perancis, pihaknya telah menunda kebijakan tersebut sejak Juli kemarin, dikutip dari AlJazeera.

Langkah Perancis itu telah dilakukan Jerman dan Belanda, yang sebelumnya mengusir paksa para pengungsi, bahkan mengembalikan mereka ke negara asal.

Pemerintah Jerman juga mengancam akan menghentikan bantuan senilai 430 juta Euro (setara Rp 7,2 triliun) untuk Afghanistan, seandainya Taliban berhasil menguasai Kabul dan menguasai pemerintahan.

Disaat yang sama, Pemerintah AS telah menawarkan program visa khusus bagi warga negara (WN) Afghanistan beserta keluarga yang bekerja untuk mereka. Dari 20,000 pendaftar, sebanyak 2,500 WN Afghanistan telah mendapatkan persetujuan untuk direlokasi ke AS.