Desakan WHO, dan Alasan Mengapa Sekolah Tatap Muka Harus Dibuka Secepatnya


Para pelajar di Indonesia mulai melakukan pembelajaran tatap muka terbatas | mediaindonesia

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendesak Indonesia agar segera membuka sekolah, dan mengizinkan pembelajaran tatap muka.

Desakan tersebut disampaikan melalui keterangan tertulis yang dikeluarkan badan naungan PBB itu, 18 bulan setelah pembelajaran jarak jauh (PJJ) dilakukan. 

Pembukaan sekolah dan institusi pendidikan, menurut mereka, harus dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan ketat. Seperti memakai masker, menjaga jarak, hingga mencuci tangan dengan sabun.

"Kita harus memahami bahwa sekolah tidak beroperasi selama isolasi. Sekolah merupakan bagian dari masyarakat kita," kata Dr N. Paranietharan, Perwakilan WHO di Indonesia.

"Jadi, penting bahwa kita juga dapat mengendalikan penularan di masyarakat ketika membuka sekolah," tambahnya.

Menurut data pemerintah, sebanyak 60 juta pelajar di Indonesia terkena dampak penutupan sekolah sejak Maret 2020. 

Sekitar 39 persen dari sekolah telah dibuka kembali untuk pembelajaran tatap muka terbatas, dengan mengikuti arahan negara.

Terlepas dari desakan WHO, pembukaan sekolah dan aktivitas pendidikan seharusnya menjadi prioritas dibandingkan mal atau tempat hiburan karena beberapa alasan.

1. Interaksi Sosial Minim

Pandemi telah membuat anak sulit berinteraksi sosial | Shutterstock

Pelaksanaan PJJ selama 18 bulan terakhir telah menyebabkan interaksi sosial para pelajar berkurang, khususnya dengan guru dan teman sebaya. 

Padahal, interaksi sosial sangat dibutuhkan oleh para pelajar, terutama yang masih duduk di bangku SD hingga SMA. 

Hal terpenting bagi tumbuh kembang anak adalah bermain, dan melalui permainan mereka dapat mempelajari cara berinteraksi dalam masyarakat. Interaksi sosial anak hanya bisa dilakukan di sekolah, lingkungan tempat mereka bertemu teman sebaya.

"Bagi anak-anak, sekolah lebih dari sekedar ruangan kelas. Mereka menyediakan pembelajaran, pertemanan, serta lingkungan aman dan sehat," kata Debora Comini, perwakilan UNICEF Indonesia.

"Semakin lama anak-anak berada diluar sekolah, semakin lama pula mereka terputus dari dukungan penting ini"

"Ketika pembatasan Covid-19 dilonggarkan, kita harus prioritaskan pembukaan sekolah, sehingga jutaan siswa tidak menderita kerusakan pada pembelajaran dan potensi mereka"

2. Pernikahan Dibawah Umur Meningkat

Pernikahan dini semakin marak ketika pandemi | Suara.com

Krisis ekonomi yang disebabkan oleh pandemi telah sukses mencetak angka kemiskinan baru. Jutaan keluarga diperkirakan mengalami kesulitan finansial selama satu setengah tahun terakhir.

Pelajar, yang harus berdiam diri di rumah, ikut menjadi korban. Untuk mengurangi beban biaya keluarga, para orangtua mendesak anak mereka yang masih dibawah umur untuk menikah.

Hal ini kerap menimpa pelajar wanita. Mereka dipaksa untuk menikah dengan pria dari keluarga kaya, yang terkadang usianya jauh lebih tua.

Pada 2020 lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia menerima 24.000 laporan dispensasi pernikahan dini di pengadilan agama.

Sedangkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan data 119 peserta didik usia 15-18 tahun putus sekolah dan menikah.

Namun, kondisi psikologis juga berpengaruh terhadap keputusan anak untuk menikah dini. Akibat putus sekolah karena pandemi, para siswa merasa stres, panik, dan depresi akibat memikirkan masa depan.

Menikah muda dianggap sebagai solusi terbaik. Apalagi, lingkungan sekitar memiliki pemahaman yang rendah mengenai bahaya pernikahan dini.

3. Kesulitan Memahami Pelajaran

Belajar online selama pandemi | Antara

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kemdikbud tahun 2020, sebanyak 87 persen guru diketahui hanya sekadar memberikan soal, alih-alih memaparkan materi pelajaran menggunakan teknologi digital.

Akibatnya, rata-rata siswa tidak mampu memahami pelajaran dengan baik. Selain itu, tingkat konsentrasi dikabarkan ikut menurun.

Kondisi ini tidak banyak berubah di tahun berikutnya. Masih dari survei kemdikbud, sebanyak 20% siswa secara nasional dinyatakan tidak lolos kompetensi oleh sekolah mereka.

Fenomena ini diduga disebabkan oleh learning loss yang terjadi selama pembelajaran daring. Learning loss merupakan kondisi dimana peserta didik kehilangan kompetensi belajar mereka.

" Terdapat 20 persen sekolah secara nasional menyatakan sebagian siswa tidak memenuhi kompetensi. 20 persen inilah yang diduga mengalami learning loss," ujar Plt Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan (Kabalitbangbuk) Kemdikbud, Totok Suprayitno pada Januari 2021.