Gara-Gara Brexit, Sembako dan BBM Jadi Langka di Inggris. Kok Bisa?

 

Seorang pembeli tertegun melihat rak sembako yang kosong di salah satu pasar swalayan Inggris | Getty Images

Pada 31 Januari 2020, Inggris resmi keluar dari Uni Eropa (UE) setelah menjadi anggota sekitar 40 tahun

Langkah yang dikenal sebagai British Exit (Brexit) ini telah diwarnai oleh kisruh politik dan ketegangan pasca referendum tahun 2016, dimana mayoritas warga Inggris menyetujui kebijakan Brexit.

Alasan untuk mendukung Brexit sendiri bermacam-macam. Seperti melindungi kedaulatan negara, mencegah gelombang imigran, hingga membuka keran reformasi. Menurut mereka, tiga hal tersebut akan susah dicapai bila tetap bertahan di UE.

Meski demikian, Inggris harus menjalani periode transisi untuk bernegosiasi mengenai masa depan hubungan mereka untuk Eropa. Sehingga, Brexit baru berjalan secara efektif sejak 1 Januari 2021.

Hampir setahun berlalu, Brexit justru membawa kesulitan bagi masyarakat Inggris. Barang-barang seperti sembako hingga bensin langka di pasaran.

Rak-rak bahan pokok di minimarket dan grosir tampak kosong selama beberapa minggu terakhir. Para pembeli yang datang tampak kebingungan dengan situasi ini.

Sejumlah SPBU di berbagai kota dikabarkan kehabisan stok BBM sejak Senin lalu. Menurut data dari Asosiasi Pedagang Bensin Inggris (PRA), sebanyak 50% hingga 90% SPBU di beberapa wilayah tidak memiliki pasokan sama sekali.

Para pengemudi mengantri selama berjam-jam untuk mengisi bahan bakar kendaraan mereka. Untuk meredakan situasi, pihak militer turun tangan dengan ikut menyuplai BBM ke masyarakat.

Kelangkaan BBM turut mempengaruhi transportasi umum. Sejumlah pengemudi taksi kelimpungan mencari SPBU yang masih memiliki stok, membuat operasional mereka terganggu

Dengan kondisi seperti itu, Inggris seolah menjadi "negara dunia ketiga" dalam waktu sekejap. Mengapa Brexit bisa membawa dampak begitu parah?

Imigran Berkurang, Tenaga Kerja Menghilang

Pengunjuk rasa membentangkan poster yang menentang diskriminasi terhadap pekerja migran di Trafalgar Square, London, Inggris tahun 2007 | The Guardian

Sebagai anggota UE, Inggris wajib memberikan bebas visa bagi negara anggota lainnya. Namun, sejak Brexit disahkan, kebijakan tersebut tidak berlaku lagi.

Akibatnya, pergerakan dari Eropa ke Inggris semakin sulit. Begitu pula dengan arus kedatangan imigran.

Brexit menjadi momentum Inggris untuk memperketat perbatasan mereka dari serbuan imigran. Kebijakan bebas visa telah membuat pekerja migran, yang datang melalui Eropa, bisa masuk dengan leluasa.

Mereka telah mengisi lapangan pekerjaan di Inggris, mulai dari profesi berkeahlian tinggi hingga rendah. Hal ini memicu kecemburuan dari warga Inggris, yang merasa pekerjaan mereka diambil oleh imigran.

Namun, penurunan jumlah pekerja migran secara drastis justru menimbulkan masalah baru. Inggris mengalami kekurangan tenaga kerja di berbagai sektor esensial

Profesi seperti supir truk, buruh pabrik dan pertanian, serta tenaga logistik merupakan yang paling terdampak dalam situasi ini, karena didominasi oleh pekerja migran. 

Absennya kehadiran mereka membuat aktivitas produksi dan distribusi produk, termasuk kebutuhan pokok menjadi rendah. Sementara itu, permintaan dari publik semakin besar. 

Tak heran, kelangkaan barang pun melanda seluruh penjuru negeri.

Fasilitas Energi yang Rendah

Sejumlah SPBU di Inggris kehabisan stok bahan bakar | ABC

Sebenarnya, kenaikan harga bahan bakar, seperti minyak dan gas bumi, merupakan fenomena yang terjadi di seluruh dunia dalam beberapa waktu terakhir.

Hal ini disebabkan oleh tingginya angka permintaan dari Cina, yang perkembangan industrinya begitu pesat, hingga penurunan suplai dari Rusia.

Namun, Inggris merupakan negara yang merasakan dampak paling parah. 

Perjanjian Brexit dengan UE, yang ditandatangani oleh Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson pada Desember 2020, tidak mencakup kesepakatan mengenai energi. Secara tidak langsung, mereka telah meninggalkan Pasar Internal Energi UE.

Padahal, Inggris memiliki banyak kekurangan dalam sektor energi. Mereka tidak memiliki fasilitas penyimpanan gas alam dalam jumlah besar

Alhasil, pasokan gas alam Inggris habis jauh lebih cepat.

Dengan adanya Pasar Internal Energi, negara-negara anggota UE dapat mengamankan pasokan energi mereka bersama-sama, termasuk fasilitas penyimpanan gas alam.

Menurut laporan National Grid tahun 2016, tagihan energi di Inggris dapat melonjak sebanyak 677,8 juta dolar AS (Rp 9 triliun) seandainya meninggalkan Pasar Internal Energi UE.

"Tidak ada kerjasama yang erat (antara Inggris dan UE) mengenai keamanan suplai (energi)," terang Lilah Howson-Smith, seorang rekanan senior di Global Counsel, sebuah perusahaan penasihat kebijakan.

Para ekonom mengingatkan, krisis yang terjadi saat ini dapat membawa Inggris menuju inflasi terparah selama dua dekade terakhir. Hal ini tentu dapat membebani pertumbuhan ekonomi mereka, yang kini masih terseok-seok akibat pandemi.