Sri Lanka Bangkrut Karena Salah Urus, dan Utang Cina

 

Krisis ekonomi menyebabkan kerusuhan besar di Sri Lanka | Sukabumi Update

Pada hari Rabu (13/7/2022), sebuah pesawat jet militer melesat terbang meninggalkan Sri Lanka, negara pulau di selatan India.

Sekilas, tidak ada yang istimewa dari pesawat tersebut. Namun, penumpang di dalamnya yang menimbulkan kehebohan publik.

Pesawat tersebut membawa Gotabaya Rajapaksa bersama keluarganya. Rajapaksa merupakan Presiden Sri Lanka sejak tahun 2019, yang saat ini sedang menghadapi kemarahan rakyat akibat krisis ekonomi dan salah urus negara.

Aksi demonstrasi untuk menggulingkan Rajapaksa telah mengguncang Sri Lanka selama beberapa bulan terakhir. 

Kakaknya, Mahinda Rajapaksa, yang juga pernah menjadi Presiden Sri Lanka (2005-2015), ikut menjadi sasaran amuk warga. Meski demikian, Mahinda menyatakan tidak akan melarikan diri seperti adiknya.

Mahinda merupakan sosok yang membuka jalan bagi dominasi "Dinasti Rajapaksa" di pemerintahan Sri Lanka selama dua puluh tahun. Awalnya, ia populer karena mengakhiri perang saudara Sri Lanka, yang melibatkan etnis mayoritas Sinhala dan Tamil selama 30 tahun

Namun, popularitas tersebut membuat keluarga Rajapaksa terlena. Ketika naik ke tampuk kekuasaan, Gotabaya justru membuat kesalahan fatal.

Pada tahun 2019, ia melakukan pemotongan pajak besar-besaran untuk meraih dukungan publik. Namun, langkah ini justru membuat pendapatan negara turun 25 persen.

Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa | Detik.com

Kebijakan yang tidak kalah mematikan adalah larangan penggunaan pupuk kimia, yang membuat banyak lahan pertanian mengalami gagal panen. Akibatnya, terjadi kelangkaan pangan di seluruh negeri.

Ketika pemerintah memutuskan membatalkan larangan tersebut, semuanya sudah terlambat. Jutaan warga Sri Lanka kini terancam kelaparan.

"Apapun yang dilakukan Gotabaya untuk memperbaiki kesalahannya selalu terlambat dan tidak efektif," kata Rohan Samarajiva, pendiri lembaga think tank LIRNEasia.

"Gotabaya memiliki banyak penasihat di sekitarnya, dan dalam banyak kasus, ia mengambil saran dari orang yang salah. Contohnya, ia meminta saran tentang pertanian kepada seorang dokter medis"

Ditambah lagi, Gotabaya juga menunjuk saudara dan kerabat dekatnya untuk menduduki posisi strategis di pemerintahan.

Adiknya, Basil Rajapaksa menempati posisi Menteri Keuangan. Kakaknya, Chamal Rajapaksa diangkat sebagai Menteri Imigrasi. Sementara putranya, Namal Rajapaksa menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga. 

Alhasil, kepentingan keluarga juga dapat memengaruhi kebijakan yang diambil Gotabaya.

Namun, semua itu bukanlah "pembunuh" utama Sri Lanka. Utang ke Cina yang sangat besar disinyalir mendorong mereka jatuh dalam jurang kebangkrutan.

Kena Jebakan Utang?

Presiden Cina Xi Jinping (kiri) disambut oleh Presiden Sri Lanka Mahinda Rajapaksa tahun 2014 | SCMP

Belakangan ini, Cina memang rajin mengeluarkan uang untuk pembangunan infrastruktur di sejumlah negara, termasuk negara-negara Asia yang tergolong miskin seperti Sri Lanka.

Sri Lanka tidak punya banyak komoditas ekspor yang unggul. Produk tekstil dan garmen menyumbang 53 persen dari total ekspor Sri Lanka, disusul oleh teh (17 persen), karet, kelapa, dan ikan. 

Satu-satunya sektor yang menyumbang pendapatan signifikan bagi Sri Lanka adalah pariwisata. Mereka menjual keindahan alam dan budaya yang menarik wisatawan mancanegara.

Namun, hasil dari pariwisata belum cukup untuk menggenjot pembangunan negara. Menurut Bank Pembangunan Asia (ADB), Sri Lanka membutuhkan 1,7 triliun dolar AS per tahun untuk infrastruktur penunjang ekonomi.

Disaat itulah, Cina datang sebagai "malaikat" bagi negara pulau tersebut.


Sejak tahun 2000-an, Cina telah berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur Sri Lanka, sebagai bagian dari Belt and Road Initiative.

Mereka membangun jalan tol, fasilitas publik, gedung pemerintahan, hingga pelabuhan. Salah satunya adalah Pelabuhan Hambantota, yang dibangun di kota kelahiran keluarga Rajapaksa. 

Pelabuhan ini dibangun dengan biaya fantastis, 1,5 miliar dolar AS (Rp 21 triliun), dan digadang sebagai "Jalur Sutera Maritim Abad ke-21".

Megah dan begitu semarak, ternyata infrastruktur buatan Cina tidak banyak menghasilkan keuntungan bagi Sri Lanka. Negara itu tetap saja terjebak dalam kemiskinan. Salah urus negara membuat jutaan hingga miliaran dolar menguap begitu saja.

Sementara itu, utang ke Cina yang menggunung mulai jatuh tempo. 

Tanda-tanda Sri Lanka akan mengalami gagal bayar sudah terlihat sejak enam tahun yang lalu.

Pada tahun 2016, Otoritas Pelabuhan Sri Lanka harus membayar utang pembangunan Pelabuhan Hambantota sebesar 9 miliar rupee Sri Lanka (SLR), atau Rp 367 miliar ke Cina. 

Padahal, pelabuhan itu mengalami kerugian sampai SLR 46,7 miliar  (Rp 1,9 triliun) pada akhir tahun yang sama.

Tak sanggup lagi menanggung kerugian dan bayar utang, Sri Lanka menyerahkan Hambantota untuk dikelola Cina pada 2017, selama 99 tahun.

Artinya, Cina akan bercokol disana hingga tahun 2116!

Pelabuhan Hambantota diserahkan kepada Cina untuk dikelola selama 99 tahun | Global Times


Pandemi Covid-19 yang muncul tahun 2020 memukul sektor pariwisata Sri Lanka, setelah tidak ada turis yang datang berkunjung. Penghasilan negara pun semakin morat-marit. Jangankan bayar utang, untuk memenuhi kebutuhan warga saja mulai kesulitan.

Per Desember 2020, utang luar negeri Sri Lanka mencapai 49,2 miliar dolar AS (Rp 738 triliun), atau 101 persen dari PDB nasional.

Karena itu, Sri Lanka mengajukan penundaan pembayaran utang kepada kreditor sampai ekonomi mereka pulih. Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Jepang telah sepakat untuk menunda penagihan.

Namun, tidak dengan Cina, negara kreditor terbesar bagi Sri Lanka. Mereka justru menawarkan pinjaman tambahan dengan kredit mudah, agar Sri Lanka mampu membayar utang yang lain. Bukan menunda atau mengurangi tagihan utang.

Bagi pengamat, ini sama saja dengan "gali lubang tutup lubang"

Mereka mengkritik langkah Cina yang dianggap "memberikan jebakan utang", sehingga dapat menguasai lebih banyak infrastruktur dan sumber daya di Sri Lanka.

"Alih-alih memanfaatkan cadangan terbatas yang kami miliki dan mengurangi utang, kami malah terus melakukan pembayaran utang sampai kehabisan semua cadangan kami," kata Ali Sabry, pejabat Menteri Keuangan Sri Lanka (April-Mei 2022).

Sebenarnya, ada cara lain untuk membebaskan Sri Lanka dari krisis ekonomi dan gagal bayar. Yaitu meminta bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF).

Cuma, cara ini lebih "menyakitkan". Sri Lanka harus melakukan penghematan besar-besaran, menaikkan pajak, hingga depresiasi mata uang yang dapat harga kebutuhan pokok melonjak. Rakyat pasti akan menjerit lebih keras jika itu dilakukan.

Namun, menambah utang tidak akan memecahkan masalah, dan pemimpin Sri Lanka tampaknya mulai "sadar". 

Presiden sementara Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe mengatakan pada Senin (18/7/2022) bahwa negosiasi dengan IMF hampir selesai

Meski demikian, IMF tidak serta merta memberikan dana talangan. Mereka ingin Sri Lanka mengembalikan stabilitas dalam negeri, meredakan kerusuhan, dan menyelesaikan masalah pemerintahan. 

"IMF tidak dapat.....berinteraksi dengan pemerintah ketika keadaan dalam mode krisis berkelanjutan," terang Deborah Brautigam, seorang profesor dari Universitas Johns Hopkins.

"Jadi sampai pemerintah stabil, sampai mereka punya menteri keuangan, tidak ada yang bisa diajak bicara oleh IMF"

Menurut Brautigam, hal ini dilakukan agar IMF mendapat jaminan dari Sri Lanka bahwa pendapatan dan pengeluaran "bersesuaian dengan baik", sehingga dana talangan dapat dilunasi di masa depan.

Untuk memenuhi syarat tersebut, Wickremesinghe mengerahkan aparat untuk membubarkan tenda demonstran, dan menerapkan keadaan darurat negara demi mengendalikan situasi.

Aparat bersenjata Sri Lanka menggusur tenda pengunjuk rasa di Kolombo | ABC

























 




Banner iklan disini