Obat Sirup: Mengapa Bisa Bunuh Ratusan Anak?

 

Setelah menewaskan ratusan orang, obat sirup ditarik dari peredaran | Kompas.com

Kasus kematian ratusan anak akibat gagal ginjal akut telah memicu kehebohan publik.

Pasalnya, mayoritas korban mengalami kerusakan ginjal setelah meminum obat sirup. 

Jenis obat ini memang sangat populer, khusunya bagi anak-anak. Selain bisa didapat di minimarket dan apotek, obat sirup mudah dikonsumsi anak karena mengandung rasa buah-buahan. Sehingga tidak pahit di lidah. 

Tak hanya itu, dengan sifat yang mudah dicerna dan meresap dalam tubuh, obat sirup lebih cepat menyembuhkan panyakit dibandingkan jenis obat lain. Misalnya obat tablet atau kapsul.

Kasus gagal ginjal akut pada anak, yang terkait dengan obat sirup, telah ditemukan sejak Januari 2022. Awalnya, kasus yang dilaporkan berjumlah 2 orang. Hingga Juli 2022, pertambahan kasus per bulan hanya mencapai 2-5 korban.

Namun, memasuki bulan berikutnya, jumlah kasus meroket menjadi 36 kasus (Agustus 2022), 78 kasus (September 2022), dan 75 kasus (Oktober 2022). Dari total 206 korban, sekitar 133 atau 55 persen diantaranya meninggal dunia. Kebanyakan adalah anak berusia dibawah 10 tahun.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, lonjakan kasus dalam tiga bulan itu sangat tidak wajar. Seharusnya, kematian akibat gagal ginjal akut tidak meroket dalam waktu cepat.

Melihat situasi yang sangat buruk, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) langsung melakukan investigasi. Peredaran obat sirup dihentikan secara nasional. Ribuan apotek dan minimarket menarik pasokan obat sirup mereka dari rak penjualan.

Kasus gagal ginjal akut akibat obat sirup membuat orang tua takut anak-anaknya menjadi korban. Mereka pun bertanya-tanya, mengapa obat sirup berubah menjadi "racun mematikan", padahal sebelumnya aman-aman saja?

Tercemar Zat Berbahaya

Proses produksi obat sirup di perusahaan farmasi | Sekretariat Kabinet RI

Menurut Menkes Budi, obat sirup yang dikonsumsi para korban diduga telah tercemar oleh tiga senyawa kimia. Yaitu etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), dan etilen glikol butyl ether (EGBE). 

Etilen glikol merupakan senyawa organik yang tidak memiliki warna, tidak berbau, dan memiliki viskositas yang rendah. Sehingga menyebabkan cairan bersifat higroskopis (mudah menguap). Secara umum, senyawa ini digunakan sebagai bahan baku industri poliester, dan zat tambahan dalam pembuatan cat, minyak rem, tinta cetak, tinta pulpen, dan kosmetik.

Begitu juga dengan DEG dan EGBE yang dipakai untuk memindahkan air dari aliran gas, pemeliharaan fiber, dan pembuatan bahan perekat. 

Jika dilihat dari penggunaannya, EG, DEG, dan EGBE tidak layak dikonsumsi manusia. Kalau begitu, mengapa bisa berada di dalam obat sirup?

Budi menjelaskan, ketiga zat tersebut merupakan impurities (kotoran atau sisa-sisa) dari polyethylene glicol (PEG 3350), yang dipakai sebagai pelarut dalam obat sirup. 

Meski namanya mirip, PEG memiliki struktur kimia, berat molekul, dan profil yang berbeda. EG merupakan senyawa alkohol, sementara PEG adalah polyether. EG memiliki sifat toksik, sementara PEG aman dalam obat laksatif.

Lalu, bagaimana reaksi tubuh ketika etilen glikol dikonsumsi?

Prof. Apt. Muchtaridi, Ph.D, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran menuturkan, etilen glikol dapat teroksidasi oleh enzim di dalam tubuh setelah tertelan. Ketika teroksidasi, etilen glikol berubah menjadi glikol aldehid, lalu kembali dioksidasi menjadi asam glikol oksalat, sebelum membentuk asam oksalat.

Asam oksalat inilah yang akhirnya memicu pembentukan batu ginjal. Parahnya lagi, batu ginjal yang dihasilkan berbentuk kristal setajam jarum. Sehingga dapat mencederai ginjal. Tak heran, banyak korban yang meninggal dengan cepat setelah terkena gagal ginjal akut.

Pengawasan Lemah

Petugas memeriksa obat sirup yang dilarang dijual untuk sementara waktu | Tempo.co

Panel ahli sekaligus epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman menilai fenomena gagal ginjal akibat obat sirup ini punya keterkaitan dengan pandemi Covid-19. Apalagi, kasus ini terdeteksi pertama kali pada Januari 2022, tahun ketiga pandemi. 

"Ini informasi kasusnya di Januari 2022, maka artinya ini, adalah salah satu produk yang dikeluarkan di era pandemi, produk obat yang dikeluarkan di era pandemi kita harus telusuri kenapa bisa menurun pengawasan mutu di era pandemi?" tandas Dicky.

Dicky menduga, terjadi penurunan mutu pengawasan obat-obatan di tengah meningkatnya permintaan obat selama wabah Covid-19.

"Apakah karena kebutuhan obatnya begitu banyak sehingga lolos, atau terjadi penurunan mutu yang ada potensi misalnya dugaan memanfaatkan situasi, misalnya ya, ini kan beberapa dugaan yang harus diklarifikasi," lanjutnya.

Epidemiolog itu juga menyayangkan lambatnya respon BPOM dan pihak berwenang terhadap kasus ini. Mereka tidak seharusnya seolah menunggu kasus ini meledak dahulu untuk mengambil langkah intensif. Terlebih, merebaknya Covid-19 membuat para orangtua menggunakan obat sirup lebih banyak dari biasanya.

"Ini analisa sementara saya, artinya karena ini kejadiannya begitu merebak, cepat, dalam masa tahun ketiga pandemi, tentu kita harus melihat keterkaitan juga dengan pandemi baik langsung maupun tidak langsung"

"Misalnya kaitan dengan infeksi, jelas kalau misalnya infeksi, batuk pilek butuh obat batuk, berarti kebutuhan meningkat. Atau juga ada infeksi itu sendiri yang ikut memperburuk ginjal dari si penderita. Ditambah lagi adanya konsumsi obat yang sudah ada cemaran tadi, jadi ini semakin memperburuk situasi," kata Dicky.







Banner iklan disini