Selama beberapa pekan terakhir, Cina diguncang aksi protes dan kerusuhan yang mengejutkan dunia.
Jutaan warga Negeri Tirai Bambu turun ke jalan untuk memprotes kebijakan Zero Covid yang diluncurkan oleh pemerintah.
Zero Covid merupakan jurus terbaru rezim komunis Cina untuk menekan kasus pandemi Covid-19. Cara yang ditempuh cukup ekstrem. Jika terdapat kasus Covid di suatu wilayah, maka pemerintah akan memberlakukan lockdown penuh di wilayah tersebut. Meskipun yang ditemukan hanya satu hingga dua kasus saja.
Cina memang dikenal sangat keras dalam melawan pandemi Covid-19. Jika ada warga yang ketahuan melanggar kebijakan lockdown dan protokol kesehatan, hukuman keras akan diterapkan.
Pada 23 November 2022 lalu, ribuan buruh di pabrik iPhone Zhengzhou harus merasakan keganasan aparat keamanan setelah berunjuk rasa memprotes kebijakan Zero Covid.
Video yang beredar di media sosial menunjukkan aksi polisi yang memukuli dan menendangi demonstran dengan brutal. Bahkan, ada beberapa buruh yang terus dianiaya meskipun sudah tak berdaya dan berlumuran darah.
Sehari kemudian, kebakaran hebat melanda sebuah apartemen di Urumqi, Provinsi Xinjiang. Insiden yang menewaskan 10 orang menjadi puncak kemarahan rakyat, karena Urumqi telah memberlakukan lockdown sejak Agustus lalu.
Protokol kesehatan yang keras diduga menghambat proses penyelamatan para korban.
Bermula dari Shanghai, aksi protes kemudian menyebar ke sejumlah kota besar, seperti ibukota Beijing, Shenzhen, hingga Hong Kong. Hari ke hari, jumlah pengunjuk rasa meningkat tajam. Dengan massa sebanyak ini, aparat terlihat kewalahan.
Situasi ini dimanfaatkan betul oleh masyarakat. Mereka mulai menuntut hal yang jauh lebih besar.
"Mundurlah, Xi Jinping! Jatuhlah, Partai Komunis!" teriak massa yang berorasi di pusat keuangan Shanghai.
Demonstran anti Zero Covid di Beijing, China pada 27 November 2022 | EPA-EFE |
Sementara itu, mahasiswa di sejumlah universitas menyerukan slogan-slogan, dan memasang poster bertema demokrasi dan kebebasan.
Aksi demonstrasi yang melawan pemerintah dan partai komunis jarang terjadi di Cina, negeri yang diperintah secara otoriter, lengkap dengan sensor super ketat. Selama bertahun-tahun, oposisi terhadap pemerintah adalah kejahatan, dan pelakunya dapat dijebloskan di penjata.
Keberanian massa dalam protes kali ini disinyalir dapat menggerus kekuasaan Xi, pemimpin terkuat Cina selama satu dekade terakhir.
Ubah Konstitusi, Terus Berkuasa
Presiden Cina Xi Jinping saat memimpin kongres Partai Komunis Cina | ABC |
Xi Jinping resmi menjadi Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Komunis Cina (PKC) pada 15 November 2022. Dengan jabatan tersebut, Xi berhak mendapatkan posisi sebagai Presiden Cina.
Berbeda dengan pemerintahan demokratis Indonesia, Cina merupakan negara satu partai. Artinya, pemerintahan dikuasai oleh partai tunggal, yaitu PKC. Dalam konstitusi Cina, Presiden Cina adalah pemimpin PKC, yang dipilih melalui kongres partai.
Secara hukum, Presiden Cina hanya boleh menjabat selama dua periode; masing-masing 5 tahun. Namun, dalam kongres PKC pada Oktober 2022, Xi berhasil "memaksa" partai untuk mengubah peraturan tersebut. Sehingga, Presiden Cina bisa menjabat tanpa batasan periode.
Keberhasilan itu membuat Xi menjadi pemimpin Cina terkuat setelah Mao Zedong. Kekuasaannya hampir tanpa hambatan, karena Xi telah memenjarakan lawan politiknya selama menjabat dengan tuduhan korupsi, dan sebagainya.
Perubahan dinamika politik Cina sangat disayangkan oleh pengamat. Mereka menganggap tindakan Xi sebagai kemunduran demokrasi dan kebebasan Cina, yang sebelumnya sudah terbatas.
Selain itu, kekuasaan absolut juga memudahkan Xi dalam memaksakan kebijakannya. Zero Covid adalah salah satunya.
"Dipenjara" Pemerintah
Potret lockdown selama pandemi Covid-19 di Cina | DW |
Selama tiga tahun terakhir, Cina telah berulang kali menerapkan lockdown ketat. Ratusan juta masyarakat dipaksa untuk beraktivitas dari rumah. Kebebasan dalam mobilisasi dan interaksi sosial dibatasi penuh, tanpa celah sama sekali.
Sebenarnya, kebijakan ini bagus jika diterapkan dalam jangka pendek. Namun, ketika berlaku selama bertahun-tahun, tentu saja rakyat jengah. Mereka seolah dipenjara dalam rumah sendiri oleh pemerintah.
Protes yang terjadi di pabrik iPhone Zhengzhou, dan kebakaran di Uyghur adalah puncak dari kemarahan rakyat, yang telah dipendam selama bertahun-tahun. Mereka merasa pemerintah tidak lagi bekerja atas kehendak rakyat, sehingga harus "diganti".
Fenomena ini tidak hanya mengejutkan dunia, namun juga warga Cina sendiri. Melalui panggilan anonim kepada The Guardian, mereka menyampaikan opini mereka.
Beberapa responden mengaku heran dengan protes kali ini, mengingat perbedaan pendapat publik begitu jarang terjadi di Cina. Meski demikian, mereka memuji aksi ini sebagai bentuk keberanian dalam memperjuangkan hak-hak rakyat.
"Mereka sangat berani," kata Guang (nama samaran), mahasiswa yang berbasis di Provinsi Sichuan.
"Jujur, saya tidak menyangka protes ini bisa menyebar begitu luas di negara ini"
Chen (nama samaran), seorang warga Beijing, menyebut kondisi ekonomi yang memburuk akibat lockdown terus-menerus sebagai faktor utama meledaknya unjuk rasa.
"Saya bisa merasakan adanya resesi di sekitar kami," kata Chen.
"Jelas, ekonomi sedang terpuruk. Lebih sedikit orang di pusat perbelanjaan, hilangnya usaha kecil dan harga barang sehari-hari yang tinggi adalah bukti nyata dibandingkan data resmi. Sekarang malapetaka itu timbul bukan karena Covid, melainkan kebijakan bodoh"
Uniknya, ada juga responden yang mengaitkan Piala Dunia FIFA 2022 di Qatar sebagai pemicu kemarahan rakyat. Salah satu pesta olahraga terbesar dunia itu ditayangkan langsung di ratusan negara, termasuk Cina.
"Melihat seluruh dunia terbuka dan bersuka cita ketika anda tidak bisa meninggalkan kota sangat menyebalkan, dan membuat frustrasi," kata Dan (nama samaran), pegawai marketing di Shenzhen.
Besarnya gelombang demonstrasi membuat pemerintah Cina kelimpungan. Mereka pun sadar, jika kebijakan Zero Covid dilanjutkan akan sangat berbahaya bagi stabilitas politik dan keamanan negara. Satu persatu kota di Cina mulai melonggarkan kebijakan Covid-19.
Awal Desember 2022, Shanghai mengumumkan bahwa hasil tes negatif Covid-19 tidak lagi diperlukan untuk menggunakan angkutan umum, atau mengunjungi fasilitas publik. Nanning, ibukota Guangxi, juga menghapus ketentuan yang sama untuk menaiki kereta bawah tanah.
Sementara itu, Beijing mengizinkan orang-orang yang positif Covid-19 untuk melakukan karantina mandiri di rumah. Sebelumnya, pasien yang terjangkit harus dirawat di pusat isolasi, yang diawasi penuh oleh pemerintah.
Meski telah melonggar disana sini, belum diketahui pasti apakah kemarahan masyarakat akan mereda. Hingga berita ini diturunkan, aksi protes masih terjadi di sejumlah kota.
Jika kondisi ini dibiarkan, tentu akan sangat berbahaya bagi kekuasaan Xi dan PKC. Apakah Xi dapat menyelamatkan pemerintahannya, atau malah menjadi pemimpin Cina pertama yang jatuh akibat demonstrasi rakyat?
Kita pantau saja perkembangan negeri adidaya berpenduduk 1,4 miliar jiwa ini.
Social Plugin