Mengapa Orang Bali Membuat "Robot Raksasa" Sebelum Hari Raya Nyepi?

 

Penampilan Ogoh-Ogoh dalam parade yang digelar di Kabupaten Badung, Bali  | Tribun Bali / I Komang Agus Aryanta 

Banyak orang bilang umat manusia saat ini tengah memasuki era robotik. 

Anggapan ini tidak salah, karena teknologi robot dan otomatisasi mulai merasuk ke dalam setiap aspek kehidupan manusia. Fenomena yang tadinya hanya sebatas ramalan dalam novel dan film-film fiksi ilmiah itu pun perlahan menjadi kenyataan. 

Jika kita pergi ke Jepang, Cina, atau negara-negara hi-tech lainnya, robot marak digunakan sebagai pelayan, perawat, atau petugas layanan publik. Pabrik-pabrik juga mengurangi jumlah karyawan mereka karena ingin mengadopsi teknologi robot yang dianggap lebih ekonomis, praktis, dan tidak menuntut gaji tinggi pastinya. 

Tapi, bagaimana jika robot digunakan dalam perayaan tradisional? Sebuah perayaan yang berakar dari ajaran berusia ribuan tahun?

Mungkin terdengar lucu dan kurang masuk akal, tapi itulah yang terjadi di Bali. 

Setiap tahun, masyarakat Bali merayakan Nyepi, yang jatuh antara bulan Maret atau April. Tanggalnya bisa berubah-ubah sebab kalender yang digunakan adalah Saka, sistem penanggalan yang diadopsi dari kalender India dan disesuaikan dengan kearifan lokal Bali. 

Pada dasarnya, Nyepi adalah perayaan tahun baru, sama seperti yang dirayakan di seluruh dunia setiap tanggal 1 Januari atau Tahun Baru Imlek dalam budaya Cina. 

Bedanya, orang Bali tidak merayakan tahun baru mereka dengan kembang api atau pesta pora. Sesuai dengan kata Nyepi yang berarti "sepi", mereka justru menutup pintu rumah mereka rapat-rapat, tidak bekerja atau bersenang-senang, dan berpuasa selama 24 jam dari pukul 6 pagi hingga keesokan harinya pada jam yang sama. 

Itulah kenapa pada hari Nyepi, segala kegiatan berhenti total di Bali. 

Kendaraan yang biasanya memenuhi jalanan hilang dalam waktu semalam. Lalu lintas penerbangan dihentikan. Bandara dan pelabuhan ditutup. Siaran radio dan televisi berhenti mengudara. 

Jaringan internet dan telepon diputus, kecuali untuk rumah sakit dan fasilitas darurat lainnya. Para warga juga dihimbau untuk tidak menyalakan lampu dan listrik di rumah, sedangkan penerangan jalan dimatikan. 

Semua itu dilakukan demi mendukung orang Bali yang sedang "mengisolasi diri" di rumah masing-masing. 


Jalanan yang kosong melompong selama hari raya Nyepi di Bali | VOI

Saya tak akan membahas panjang lebar tentang hari Nyepi ini. Atau mungkin saya akan menulisnya suatu saat nanti (kalau ada waktu hahaha).  

Hal yang saya ingin tunjukkan adalah ritual yang digelar pada malam sebelum Nyepi dimulai. Di Bali kami menyebutnya Pengerupukan.

Pada malam tersebut, orang Bali akan keluar dan membunyikan benda-benda keras untuk mengusir Bhuta Kala, makhluk halus yang menjadi simbol kejahatan dan kekotoran, dari lingkungan rumah, pekarangan, dan sekitarnya. 

Biasanya, Pengerupukan diiringi oleh parade obor dan alunan musik gamelan yang saling bersahutan di jalanan kota maupun desa. Sementara itu, anak-anak muda akan mengarak patung raksasa yang disebut Ogoh-Ogoh

Ogoh-Ogoh bukan hanya sekedar karya seni. Ia menggambarkan sosok jahat dalam literatur Hindu Bali, cerita rakyat, atau epos terkenal seperti Mahabharata dan Ramayana. Terkadang ada juga Ogoh-Ogoh yang menyerupai karakter jahat dalam film dan komik, atau pelaku kriminal di kehidupan nyata. 

Oleh karena itu, Ogoh-Ogoh biasanya memiliki wajah seram dan menakutkan. 


Ogoh-Ogoh yang diarak di malam Pengerupukan | Tribunnews

Ketika rangkaian acara Pengerupukan selesai, masyarakat akan membakar Ogoh-Ogoh sebagai simbol "memusnahkan" kejahatan. Itulah alasan kenapa patung ini dibuat dari bahan-bahan yang sederhana dan mudah terbakar.

Akan tetapi, beberapa tahun terakhir, generasi muda Bali modern yang hidup dengan gadget dan perangkat digital, mulai berinovasi dengan tradisi dengan memasang teknologi robot di dalam Ogoh-Ogoh mereka. 

Tren ini diperkirakan berawal dari Tainsiat, sebuah wilayah yang berada di Denpasar, ibukota Bali. 

Anak-anak muda yang tergabung dalam organisasi pemuda-pemudi adat (Sekaa Teruna-Teruni) di Tainsiat menggunakan teknologi robot agar Ogoh-Ogoh mereka dapat bergerak dan mengeluarkan efek khusus, sehingga terlihat "hidup".  

Cara kerja Ogoh-Ogoh robot ini sebenarnya cukup sederhana. Mereka memanfaatkan sistem hidrolik yang bisa dikendalikan oleh kontroler, baik dalam bentuk remote maupun aplikasi smartphone. 

Namun, AI juga mulai dimanfaatkan agar Ogoh-Ogoh itu dapat bergerak otomatis. Jadi anak-anak muda itu tidak perlu capek mengendalikan remote dan tinggal fokus mengarak Ogoh-Ogoh keliling kota atau desa.


Para pemuda merakit sistem hidrolik untuk Ogoh-Ogoh mereka di Tainsiat, Denpasar, Bali pada tahun 2019 | Tribun Bali / Noviana Windri Rahmawati
 

Inovasi ini pun menarik perhatian masyarakat. Sangat populer hingga menginspirasi anak muda Bali lainnya untuk melakukan hal yang sama.

Ditambah lagi, pemerintah dan pemimpin adat Bali juga mengadakan lomba Ogoh-Ogoh yang biasanya digelar seminggu sebelum Pengerupukan. Tahun ini (2025), contohnya, hadiah yang ditawarkan mencapai 50 juta rupiah untuk juara pertama. Jumlah yang cukup besar. 

Tak heran, anak-anak muda Bali pun makin bersemangat untuk membuat Ogoh-Ogoh yang sangat unik plus megah. Dan penggunaan teknologi robot dan AI pun semakin masif. 

Meski begitu, kolaborasi antara teknologi dan Ogoh-Ogoh ini juga menuai pro dan kontra di antara masyarakat Bali. 

Kubu yang menentang, didominasi oleh kalangan konservatif, menilai penggunaan teknologi robot membuat Ogoh-Ogoh "kehilangan esensi dan nilai-nilai sakralnya". 

Mereka juga mengkritik biaya pembuatan yang mahal, dan menganggapnya pemborosan. Tainsiat, misalnya, harus merogoh kocek hingga ratusan juta rupiah demi membuat Ogoh-Ogoh canggih mereka. 

Sementara bagi orang-orang yang suportif, penggunaan teknologi menjadi bukti bahwa modernisasi bisa berdampingan dengan budaya tradisional. Modernisasi tidak harus menggusur adat yang sudah diwariskan turun temurun selama berabad-abad. 

Terlepas dari segala perdebatan, saya sendiri menganggap Ogoh-Ogoh robot sebagai langkah awal untuk membangun Bali sebagai masyarakat berteknologi tinggi. 

Bali memang harus berpegang teguh pada jati diri budaya dan tradisi mereka yang unik. Apalagi mereka adalah salah satu benteng terakhir peradaban Hindu di kepulauan Nusantara sekaligus Asia Tenggara. 

Namun, mengabaikan teknologi adalah kesalahan fatal. Apalagi di tengah perkembangan internet dan AI, yang diprediksi akan menggantikan banyak sekali profesi manusia. Hanya orang-orang super unggul dan jago teknologi saja yang akan berjaya di dunia kerja. 

Maka dari itu, integrasi teknologi dengan adat dapat menjadi jalan pembuka bagi Bali untuk modernisasi diri. Modernisasi berkarakteristik Bali.