Mengenal Shi Zhengli, Ilmuwan Cina yang Dituding Sebagai Pencipta Virus Covid-19

 

Ilmuwan Institut Virologi Wuhan, Dr Shi Zhengli yang dituduh sebagai dalang pandemi  | Dailymail

Selama satu setengah tahun bergulir, pandemi Covid-19 telah menginfeksi 193 juta orang di seluruh dunia, dengan 4 juta diantaranya meninggal dunia.

Tingginya angka kasus positif dan jumlah kematian menjadikan Covid-19 sebagai salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah umat manusia. 

Selain bekerja keras menciptakan obat dan vaksin, kini para ilmuwan juga berupaya menelusuri asal muasal dari virus SARS nCov-2, yang mengakibatkan wabah Covid-19. 

Penelusuran ini diperlukan guna mengetahui faktor kemunculan virus, yang dapat dijadikan referensi untuk mencegah terulangnya pandemi di masa depan.

Kasus positif Covid-19 diduga pertama kali ditemukan pada 17 November 2019. Pasien merupakan seorang pria berusia 55 tahun dari Provinsi Hubei, Cina. 

Virus kemudian menyebar hingga kota Wuhan, yang merupakan ibukota Provinsi Hubei. Berdasarkan data rahasia pemerintah Cina yang bocor ke publik, sekitar 60 kasus positif terkonfirmasi pada 20 Desember 2019, sebagaimana dilansir The Guardian.

Fakta tersebut membuat ilmuwan dari seluruh dunia berfokus kepada Cina, terutama kota Wuhan dan Provinsi Hubei. Sejumlah teori tentang asal mula virus Covid-19 pun bermunculan. 

Awalnya, kebiasaan penduduk Wuhan dalam mengonsumsi kelelawar dan binatang liar dituding sebagai biang kerok lahirnya virus Covid-19. Pasalnya, sebagian besar pengidap awal Covid-19 memiliki keterkaitan dengan Pasar Ikan Huanan, yang menjual daging hewan liar dan eksotis untuk dijadikan hidangan.

Namun, kekuatan virus yang semakin ganas dan mematikan membuat banyak pihak curiga adanya keterlibatan manusia. 

Kecurigaan tersebut melahirkan teori kebocoran laboratorium Wuhan.

Petugas keamanan berusaha menghalau awak media yang meliput kedatangan tim investigasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di laboratorium Institut Virologi Wuhan, Januari 2021 | Getty Images

Institut Virologi Wuhan merupakan sebuah lembaga penelitian virus yang terletak di Wuhan. Mereka diketahui kerap mengadakan eksperimen dan kajian ilmiah mengenai berbagai jenis virus, baik yang ringan maupun mematikan.

Pada tahun 2017, salah satu ilmuwan dari laboratorium tersebut, Dr Shi Zhengli menerbitkan sebuah karya ilmiah yang melaporkan percobaan virus corona hibrida baru

Dikutip dari New York Times, Shi dan rekan-rekannya diketahui melakukan eksperimen peningkatan kekuatan virus (gain of function/GOF) untuk mempelajari efeknya pada inangnya, termasuk tubuh manusia. 

Caranya dengan mencampur dan mencocokkan bagian dari beberapa virus yang sudah ada, termasuk satu yang hampir menular ke manusia, untuk mempelajari kemampuan mereka dalam menginfeksi dan bereplikasi di sel manusia.

Shi membantah keras semua tuduhan tersebut. Ia menyebut tidak ada bukti bahwa Covid-19 disebabkan oleh kelalaian dalam penelitiannya. Shi juga menyebut kebocoran laboratorium Wuhan merupakan hal yang mustahil.

Namun, penelitian yang dilakukannya membuat Shi menjadi pusat perhatian dunia, yang saat ini tengah berjuang mati-matian melawan pandemi Covid-19.

Siapa sebenarnya Dr Shi Zhengli? Berikut adalah ulasannya


Ahli Virus Kelelawar

Dr Shi Zhengli, seorang ilmuwan dari Institut Virologi Wuhan, Cina | BBC

Dr Shi Zhengli lahir pada 26 Mei 1964 di Provinsi Henan, Cina. Ia mendapatkan gelar sarjana dari Universitas Wuhan pada tahun 1987, sebelum mengambil program magister (S2) di Institut Virologi Wuhan dan lulus tahun 1990. 

Shi juga diketahui meraih gelar Ph.D dari Montpeiller 2 University, Prancis pada tahun 2000.

Sebagai seorang virologis (ilmuwan yang meneliti tentang virus), Shi merupakan simbol dari kemajuan ilmu pengetahuan Cina, dan berada di garis depan riset mengenai virus yang muncul.

Ia terkenal dengan julukan 'wanita kelelawar' di Cina. Hal ini dikarenakan sebagian besar penelitiannya lebih berfokus kepada perkembangan virus dalam tubuh kelelawar. 

Shi juga sering memimpin ekspedisi mengumpulkan kelelawar, untuk mempelajari bagaimana virus bisa menular dari hewan ke manusia.

"Ia adalah seorang ilmuwan cemerlang. Sangat berhati-hati, dengan etos kerja yang ketat," kata Robert C. Gallo, direktur Institut Virologi Manusia di University of Maryland School of Medicine, kepada New York Times.

Dibawah kepemimpinan sentralistik Partai Komunis Cina, para ilmuwan dituntut untuk bekerja demi kepentingan nasional.

"Ilmu pengetahuan tidak memiliki batas negara. Namun, ilmu pengetahuan punya tanah air," tegas Presiden Cina Xi Jinping, dalam pidato di hadapan para ilmuwan.

Meski bekerja di laboratorium milik negara, Shi diketahui bukan anggota Partai Komunis Cina. Ia membangun karir di dalam institut, dimulai dari Asisten Peneliti pada tahun 1990 dan terus meningkat hingga saat ini.

Pada tahun 2004, ia bergabung dalam tim riset untuk memeriksa sebuah gua di Guangxi, Cina. Di dalam gua tersebut, ditemukan banyak sekali kelelawar yang membawa virus corona SARS. Hal serupa juga ditemukan di gua kelelawar di Yunnan, Cina Selatan.

Memiliki karakteristik yang mirip dengan Covid-19, SARS merupakan sebuah wabah yang melanda Cina pada tahun 2003. 

Tim peneliti asal Institut Virologi Wuhan memeriksa kelelawar gua yang membawa virus corona SARS di Yunnan, Cina | EcoHealth Alliance

Shi terus menyelidiki hubungan antara kelelawar dengan virus selama beberapa tahun berikutnya. Tahun 2013, ia mengumumkan penemuan virus corona baru, yang memiliki karakteristik serupa dengan SARS pada spesies kelelawar ladam Cina (Chinese Horseshoe Bats).

"Sejak tahun 2003, terdapat perdebatan mengenai asal mula virus yang berevolusi menjadi virus corona SARS manusia, penyebab ancaman pandemi pertama pada abad ke-21," terang Shi ketika itu, dilansir dari EcoHealth Alliance.

"Meski tim kami melaporkan bahwa kelelawar merupakan inang alami dari virus corona yang mirip dengan SARS pada tahun 2005, kami terus mencari mata rantai yang hilang selama 10 tahun sebelum berhasil menemukannya"

Penemuan Shi dan timnya menarik perhatian dunia medis. Salah satunya adalah Ralph Baric, seorang virologis asal Amerika Serikat (AS) yang sangat ahli dalam bidang virus corona. 

Virologis Amerika Serikat (AS) Ralph Baric di laboratorium University of North Carolina | Bloomberg

Dikutip dari MIT Technology Review, Baric mendatangi Shi pada tahun 2013 untuk meminta sampel virus SHC014, yang ditemukan dalam kotoran kelelawar . 

Meski telah memiliki sampelnya, saat itu Shi dan timnya dikabarkan tidak mampu "membudidayakan" virus tersebut di dalam laboratorium.

Sedangkan Baric telah mengembangkan cara mengatasi masalah tersebut melalui teknik "genetika terbalik"

Dengan teknik tersebut, ia tak hanya dapat menghidupkan virus yang sebenarnya dari kode genetikanya, melainkan juga mampu mencampur dan mencocokkan bagian-bagian dari banyak virus.

Baric pun bertanya kepada Shi, apakah ia dapat memiliki data genetika dari sampel virus SHC014.

"Dia cukup murah hati untuk segera mengirimi data-data tersebut," kata Baric

Ketika Baric sedang mengerjakan penelitiannya, Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat (NIH) mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan sementara pendanaan pada penelitian "peningkatan fungsi" (gain of function) pada SARS dan MERS, yang juga disebabkan oleh virus corona. 

Gain of Function merupakan eksperimen yang membuat virus yang sudah berbahaya menjadi lebih ganas atau dapat ditularkan. Eksperimen ini diperlukan untuk mengetahui bagaimana perkembangan suatu virus, dan efeknya ketika menginfeksi makhluk hidup.

Menurut NIH, penghentian pendanaan tersebut dilakukan sampai ada jaminan bahwa penelitian semacam itu "aman dan tidak menimbulkan wabah berbahaya". Apalagi, virus yang diteliti kali ini termasuk ke dalam jenis baru. Pengumuman itu membuat pekerjaan Baric harus terhenti.

Meski demikian, Baric tidak menyerah. Ia merasa metode penelitian yang dilakukannya akan meminimalisir risiko terjadinya kebocoran virus. Selain itu, penelitian semacam ini diperlukan untuk mempelajari virus corona. 

Ketika NIH akhirnya memberikan lampu hijau, Baric pun langsung tancap gas. Hasil penelitiannya dipublikasikan dalam laporan berjudul A SARS-like Cluster of Circulating Bat Coronaviruses Shows Potential for Human Emergence pada tahun 2015.

Laporan tersebut sontak meningkatkan kesadaran dunia tentang ancaman virus terhadap peradaban manusia modern. Namun, penelitian Baric juga menimbulkan kekhawatiran baru tentang eksperimen gain of function.

Dalam tulisannya, Baric menjelaskan bahwa penelitian yang ia lakukan telah melalui serangkaian tindak pencegahan dan keamanan yang ekstra ketat

“Potensi untuk mempersiapkan dan mengurangi wabah di masa depan harus ditimbang dengan risiko menciptakan patogen yang lebih berbahaya,” tulisnya.

Keberhasilan Baric sampai juga ke telinga Shi. Ia bersama timnya diduga mulai mendapatkan dana untuk mengerjakan penelitian serupa.

Namun, disinilah letak permasalahannya.

Tingkat Keamanan Rendah

Dr Shi Zhengli ketika memimpin eksperimen di laboratorium Institut Virologi Wuhan, Cina | Financial Times

Dalam artikel berjudul Inside the risky bat-virus engineering that links America to Wuhan, Rowan Jacobsen menjelaskan laboratorium di Wuhan memiliki tingkat keselamatan biologi yang rendah, yakni level BSL-2. 

Hal ini berbanding terbalik dengan laboratorium penelitian Baric, yang berada pada level BSL-3+. Alhasil, potensi terjadinya kebocoran semakin besar.

"Meskipun tidak terkait Covid-19, mengadakan eksperimen virus kelelawar yang berbahaya di laboratorium BSL-2 adalah sebuah skandal besar," kata Michael Lin, seorang bioengineer di Stanford University, California.

Departemen Luar Negeri AS menyebutkan, pihaknya memiliki alasan untuk percaya bahwa sejumlah peneliti Institut Virologi Wuhan terserang penyakit dengan gejala yang mirip dengan Covid-19. 

Hal ini diperkuat oleh laporan intelijen, yang mengungkapkan adanya ilmuwan laboratorium yang sempat berobat ke rumah sakit karena mengalami gejala serupa, beberapa minggu sebelum kasus pertama Covid-19 ditemukan.

Melalui peneliti yang terinfeksi tersebut, akhirnya virus pun menyebar keluar.

Namun, Shi menampik segala tuduhan tersebut dengan keras. Untuk membela reputasi laboratorium, serta negaranya, ia pun melayani permintaan wawancara dari awak media.

"Bagaimana saya bisa menawarkan bukti untuk sesuatu yang tidak ada buktinya?" katanya dengan nada marah, kepada New York Times.

"Saya tidak tahu bagaimana dunia menjadi seperti ini, terus-menerus menuangkan kotoran pada ilmuwan yang tidak bersalah" 

Shi juga membantah sedang mengadakan penelitian virus sebelum pandemi merebak. Menurut pengakuannya, sampel virus Covid-19 baru tersedia di laboratoriumnya setelah kasus positif pertama diumumkan.

"Laboratorium saya tidak pernah melakukan atau bekerja sama dalam melakukan eksperimen gain of function yang meningkatkan kekuatan virus," tegas Shi

Namun, keputusan Cina yang menolak investigasi internasional terhadap laboratorium Wuhan, atau membagikan data penelitiannya ke publik, membuat klaim Shi sulit untuk dibuktikan.

Sejumlah ilmuwan meminta agar penelusuran asal usul virus Covid-19 melampaui kepentingan politik, batas-batas negara, dan pencapaian ilmiah individu.

"Ini tidak ada hubungannya dengan kesalahan atau rasa bersalah," kata David Relman, ahli mikrobiologi di Stanford University.

Relman dan 18 ilmuwan lainnya menandatangani jurnal ilmiah, yang menyerukan penyelidikan transparan ke semua teori penyebab Covid-19, termasuk kebocoran laboratorium.

“Ini lebih besar dari ilmuwan, institusi, atau negara mana pun. Siapa pun, di mana pun yang memiliki data semacam ini perlu membagikannya secara luas," tambahnya.