![]() |
Masyarakat berbaur bersama komunitas LGBT dalam perayaan Pride Month di Amerika Serikat | USA Today |
Pada 14 Juni 2021, Hongaria menyetujui undang-undang yang melarang materi pendidikan berisi promosi homoseksualitas dan LGBT untuk anak-anak.
Kebijakan ini sontak memicu kemarahan publik dan komunitas LGBT. Sejumlah negara Eropa turut mengecam pemerintah Hongaria, yang dianggap telah melenceng dari nilai-nilai demokrasi.
Bahkan, Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte menyerukan agar Hongaria dikeluarkan saja dari keanggotaan Uni Eropa, seandainya ngotot menerapkan kebijakan itu.
"Bagi saya, Hongaria tidak memiliki tempat lagi di Uni Eropa," tegas Rutte dalam jumpa pers dengan awak media, sebagaimana dilansir CNN.
Kecaman juga datang dari ranah olahraga. Dalam pertandingan Jerman melawan Hongaria di Euro 2020, para pendukung Jerman mengibarkan bendera pelangi, yang menjadi simbol gerakan LGBT, sebagai bentuk protes.
Seorang suporter bahkan merangsek masuk ke tengah lapangan, dan mengejek para pemain Hongaria dengan bendera pelangi.
![]() |
Seorang suporter Jerman membawa bendera pelangi ke lapangan | AP |
Beberapa tahun terakhir, Orban telah mengampanyekan persekusi terhadap homoseksualitas dan komunitas LGBT. Menurutnya, hal ini diperlukan untuk menjaga "nilai moral keluarga Kristen Hongaria" dari ancaman Uni Eropa dan kaum globalis, yang "tidak bertuhan".
Meski ditekan dari segala penjuru, Orban tetap membela kebijakannya.
"Ini bukan masalah homoseksualitas, tetapi anak-anak dan orangtua," Orban menjelaskan.
"Saya adalah seorang pembela hak asasi manusia. Saya adalah pejuang kebebasan melawan rezim komunis"
"Kaum homoseksual mendapatkan hukuman ketika itu, dan saya memperjuangkan kebebasan dan hak mereka. Meski demikian, saya juga harus melindungi hak orangtua dan anak-anak," tegasnya.
Perdebatan
Selama satu dekade terakhir, isu LGBT menjadi pembahasan hangat di seluruh dunia. Sejumlah negara liberal, seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, hingga Belanda telah melegalkan pernikahan sesama jenis, dan melarag segala bentuk diskriminasi terhadap komunitas LGBT.
Namun, sejumlah negara tetap kukuh melarang hal tersebut. Kebanyakan dari mereka merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai keagamaan dan tradisional.
Beberapa bulan lalu, Jepang resmi membatalkan undang-undang yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Mereka beralasan hal ini tidak sejalan dengan Pasal 24 konstitusi Jepang, yang mendefinisikan pernikahan sebagai "persetujuan bersama dari dua jenis kelamin".
![]() |
Para aktivis mengadakan aksi dukungan terhadap pernikahan sesama jenis di Jepang | Getty Images |
Senada dengan Jepang, Brunei Darussalam juga melarang pernikahan sesama jenis. Namun, cara yang mereka ambil jauh lebih ekstrem.
Pada tahun 2019, negara pimpinan Sultan Hassanal Bolkiah tersebut mengesahkan hukum Islam, yang menjerat "pelaku" LGBT dengan hukuman rajam. Hal ini direspon sangat keras oleh dunia internasional.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutteres menyebut kebijakan Brunei sebagai "kejahatan terhadap hak asasi manusia".
Menurut para ahli, negara-negara tersebut seharusnya tidak melakukan diskriminasi atau pelarangan terhadap komunitas LGBT. Berikut ini adalah alasannya:
1. LGBT Bukan Penyakit Mental
Robert L. Kinney dalam Homosexuality and scientific evidence: On suspect anecdotes, antiquated data, and broad generalizations, menyebut bahwa homoseksual bukan sebuah penyakit mental, melainkan orientasi seksual normal yang terbentuk akibat faktor genetika.
![]() |
Ratusan aktivis berunjuk rasa mendukung LGBT di luar Mahkamah Agung AS di Washington, 2019 | Reuters |
Hal ini mengacu pada penemuan sejumlah bukti ilmiah. Salah satunya adalah penelitian dari The American Psychiatric Association (APA). Menurut APA, proses pembentukan orientasi seksual yang terjadi pada komunitas LGBT dan heteroseksual tidak memiliki perbedaan.
APA juga menegaskan tidak ada satupun cara yang ampuh untuk mengubah seorang homoseksual menjadi heteroseksual. Terapi konversi orientasi seksual, misalnya, hanya akan menyiksa seorang homoseksual. Bahkan, praktik tersebut dapat mengakibatkan korban jiwa.
2. Tidak Menyebabkan HIV/AIDS
Salah satu stigma yang dipercayai oleh masyarakat adalah LGBT dapat menimbulkan penyakit HIV/AIDS. Hal ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, HIV/AIDS pertama kali ditemukan pada komunitas homoseksual. Sehingga, HIV/AIDS kerap diasosiasikan dengan LGBT.
Pandangan tersebut dibantah oleh para pakar kesehatan. Menurut mereka, selama terjadi kontak seksual, HIV/AIDS dapat terjadi pada siapa saja, baik homoseksual maupun heteroseksual.
3. Bermanfaat Mengendalikan Populasi
Salah satu kekhawatiran publik mengenai LGBT adalah dampaknya terhadap populasi. Pada tahun 2014, Pemimpin Dewan Riset Keluarga di Amerika Serikat (AS), Tony Perkins mengatakan bahwa melegalkan komunitas LGBT akan menimbulkan penurunan populasi manusia secara besar-besaran.
Dalam artikelnya berjudul Homosexuality as Population Control? Why Gays & Lesbians Are Essential to the Balance of Neture, Roger Denson mengatakan homoseksualitas memang dapat menurunkan populasi manusia. Namun, hal ini tidak sampai menimbulkan kepunahan. Sebaliknya, homoseksualitas dapat membantu mengendalikan jumlah penduduk dunia yang sudah sangat padat.
Bagaimana menurut anda? Setujukah dengan pendapat diatas?
Social Plugin