Cadangan Sumber Daya Afghanistan Rp 43 Ribu Triliun, Alasan Cina Dekati Taliban?

 

Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi (kanan) bertemu dengan delegasi Taliban di Tianjin, Cina pada 28 Juli 2021 | Global Times

Sejak kejatuhan Afghanistan pada 15 Agustus 2021, mayoritas negara di dunia bersikap menolak mengakui pemerintahan Taliban. Namun, hal ini tidak berlaku untuk Cina.

Tak lama setelah kelompok konservatif Islam tersebut merebut ibukota Kabul, Cina menyatakan siap menghormati kedaulatan, serta menjaga persahabatan dengan pihak-pihak yang menjalankan pemerintahan di Afghanistan, termasuk Taliban

Hal ini terungkap dalam diskusi antara Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) pada Senin (16/8/2021). Diskusi tersebut membahas mengenai perkembangan terkini yang terjadi di Afghanistan.

"Cina akan tetap berkomunikasi dengan Taliban sebagai penghormatan atas kedaulatan Afghanistan, serta berperan dalam mencari solusi politik terhadap isu ini," kata Juru Bicara Kemenlu Cina Hua Chunying, sebagaimana dilansir VOA.

Cina dan Taliban sendiri telah menjalin komunikasi jauh sebelum kejatuhan Afghanistan. Pada Rabu (28/8/2021), Pemimpin Taliban Mullah Abdul Ghani Baradar bertemu dengan Menlu Wang di kota pelabuhan Tianjin, Cina.

Menurut Global Times, Cina menyatakan siap untuk memainkan peran yang lebih besar bagi perdamaian di Afghanistan, dengan catatan Taliban akan memutuskan hubungan mereka dengan Gerakan Kemerdekaan Turkestan Timur (ETIM)

ETIM merupakan kelompok separatis yang bertujuan untuk membebaskan wilayah Xinjiang dari kekuasaan Cina. Pemerintah Negeri Tirai Bambu sendiri telah memasukkan ETIM ke dalam daftar organisasi teroris.



Namun, sejumlah pakar menduga tujuan Cina tidak hanya sampai disitu. Menurut mereka, terdapat motif ekonomi dibalik kerjasama keduanya

Berdasarkan laporan majalah The Diplomat pada 2020, Afghanistan memiliki cadangan mineral dan logam tanah jarang (LTJ) senilai 1 triliun dolar AS, atau setara Rp 14 ribu triliun. Bahkan, nilainya naik menjadi 3 triliun dolar AS (Rp 43 ribu triliun) pada tahun ini.


Cina telah menjadi pemain dominan di pasar LTJ secara global. Berdasarkan laporan United States Geological Survey, sekitar 35% cadangan LTJ dunia berada di Cina, dan merupakan yang terbesar di dunia. 

Mereka juga memproduksi 120.000 metrik ton atau 70% dari total LTJ global pada 2018, berbanding terbalik dengan AS yang hanya menghasilkan 15.000 metrik ton di tahun yang sama.

Shamaila Khan, Direktur Urusan Hutang Pasar Negara Berkembang di AllianceBernstein, mengingatkan bahaya yang dapat terjadi seandainya Taliban berhasil mengeksploitasi sumber daya  tersebut dengan bantuan Cina.

Selama ini, Taliban dianggap sebagai kelompok ekstremis yang kerap melakukan kekerasan terhadap wanita, pembungkaman lawan politik, serta segudang pelanggaran HAM lainnya. 

Akses kepada sumber daya yang melimpah hanya akan membuat mereka semakin tak terkalahkan.

"Seharusnya ada inisiatif dari dunia internasional untuk memastikan bahwa kerjasama suatu negara dengan Taliban, termasuk eksploitasi tambang, dilakukan ketika hak asasi manusia, dan hak-hak perempuan terjamin dengan baik," tegas Khan kepada CNBC.

"Maka dari itu, diperlukan sebuah tekanan terhadap Cina. Apabila berencana membangun hubungan dengan Taliban demi mendapatkan keuntungan ekonomi, mereka harus patuh dengan ketentuan internasional," tambahnya.

Mengapa sumber daya Afghanistan sangat menguntungkan?

Para pekerja tambang Afghanistan menggunakan peralatan seadanya dalam menambang mineral | Jawed Kargar

Afghanistan menyimpan kekayaan logam tanah jarang atau LTJ yang hingga kini belum dimanfaatkan dengan baik. Perang, serta minimnya infrastruktur telah menghambat aktivitas pertambangan negeri itu.

LTJ yang mereka miliki terdiri dari lanthanum, cerium, neodymium, aluminium, emas, perak, zinc, dan lithium, yang digunakan dalam pembuatan perangkat teknologi. Seperti elektronik, kendaraan listrik, satelit, dan pesawat terbang.

Namun, diantara semua itu, lithium merupakan komoditas yang memiliki prospek cerah di masa depan. Ia merupakan komponen utama dalam pembuatan baterai isi ulang, yang biasa digunakan oleh smartphone dan kendaraan listrik. 

Bahkan, jumlah lithium Afghanistan dikabarkan dapat menyaingi Bolivia, yang saat ini memiliki cadangan lithium terbesar di dunia.

Seiring bertambahnya jumlah pengguna, angka produksi smartphone dan kendaraan listrik terus naik setiap tahunnya. Alhasil, kebutuhan terhadap lithium ikut melonjak tajam.

 "Jika Afghanistan mampu menjaga perdamaian selama beberapa tahun, dan membangun pertambangan mineral, mereka bisa menjadi negara kaya dalam waktu sepuluh tahun," terang Said Mirzad, seorang ahli di US Geological Survey, dikutip dari CNN

Meski perdamaian tidak pernah tercapai, dan pembangunan luar biasa terhambat, Afghanistan telah menghasilkan 1 miliar dolar AS, atau setara Rp 14,5 triliun per tahun, dari aktivitas pertambangan LTJ berskala kecil

Sayangnya, keuntungan tersebut dikorupsi oleh para pejabat, serta komandan milisi yang berkuasa. Sehingga 90% rakyat Afghanistan tetap berada dibawah garis kemiskinan, dengan pendapatan kurang dari 2 dolar AS (Rp 28.000) per hari.

Naiknya Taliban ke tampuk kekuasaan, dan masuknya investasi Cina dapat membantu Afghanistan mengolah cadangan LTJ yang mereka miliki.

Namun, banyak yang pesimis keuntungan yang dihasilkan akan disalurkan untuk kepentingan masyarakat, mengingat rekam jejak Taliban yang begitu kelam.