![]() |
Ilustrasi | Generated by AI |
Joseph Goebbels adalah sosok yang sangat kontroversial di dalam dunia politik abad ke-20
Sebagai petinggi Partai Nazi sekaligus tangan kanan Führer Reich Ketiga Adolf Hitler, ia dipercaya untuk menangani urusan propaganda dan agitasi politik yang masif di Jerman.
Bagi rezim fasis itu, propaganda ibarat urat nadi bagi kekuasaan mereka. Citra Hitler yang karismatik dan orasi berapi-api penuh emosi ibarat "tongkat sihir" yang mampu menghipnotis Jerman, bangsa pencetak intelektual seperti Hegel, Leibniz, Einstein dan Kant, menjadi negara ultranasionalis yang memandang dirinya "ras unggul".
Jutaan orang Yahudi, Polandia, Gipsi, Slavia, dan sebagainya dibantai di dalam kamp-kamp gelap nan sempit karena dianggap lebih rendah derajatnya.
Dalam menyebarkan ideologi mautnya, Goebbels menggunakan strategi "kebohongan besar" (große Lüge). Ia sadar jika suatu kebohongan diucapkan berulang kali tanpa henti, maka kebohongan tersebut akan dipercaya sebagai kebenaran. Rakyat yang terkecoh pun dapat disetir kesana kemari bagai kuda di bawah cambuk tuannya.
Nazi sudah ditumbangkan oleh Sekutu dan Uni Soviet pada tahun 1945, menandai berakhirnya Perang Dunia II. Delapan dekade telah berlalu, Hitler, Goebbels, serta kroni-kroninya menjadi nama yang sangat hina dalam diskursus sejarah.
Namun, apakah ajaran dan ideologi mereka juga ikut hina? Belum tentu.
Nyatanya, Neo-Fasis dan Ultranasionalis tumbuh subur di sejumlah negara, terbentang dari Asia hingga dunia Barat yang sering menyebut dirinya Champion of Democracy (jawara demokrasi).
Kelompok-kelompok ini menunggangi kondisi ekonomi yang lesu dan kesenjangan sosial untuk meraih kekuasaan, persis yang dilakukan Nazi di Jerman pada masa Republik Weimar yang penuh kekacauan.
Sementara teknik propaganda Goebbels diterapkan secara luas dengan konsep dan medium yang berbeda-beda, umumnya di internet dan media sosial. Para ahli menyebut taktik ini politik disinformasi.
Buzzer, Influencer, dan figur publik dikerahkan dan dibayar untuk menyebarkan informasi yang sesuai agenda pihak tertentu. Masa bodoh info yang diberikan benar atau tidak, jujur atau bohong, yang penting tujuan bisa tercapai.
Maraknya politik disinformasi pun kerap membingungkan masyarakat. Ada yang kritis, ada juga yang terpengaruh begitu saja tanpa pikir panjang atau verifikasi sama sekali.
Jika suatu postingan, misalnya, menyebut etnis A telah "menginjak-injak" harkat dan martabat etnis B, maka etnis B yang murka bakal langsung menyerang etnis A tanpa melihat akar masalah maupun kondisi sebenarnya.
Dan sepertinya, Bali akan menjadi korban selanjutnya.
Belakangan ini, kata-kata "Bali Rasis", "Bali Penyepong Bule", dan sejenisnya marak dilontarkan oleh pengguna di media sosial, terutama di Tiktok, Instagram, dan Facebook.
Mereka menuding orang Bali "merasa dirinya superior" dan "menganggap rendah warga daerah atau suku lain di Indonesia". Sementara ketika berhadapan dengan bule atau turis asing, orang Bali akan "memperlakukan mereka seperti raja"
Untuk meyakinkan argumen ini, mereka kemudian mengunggah cerita pengalaman "diperlakukan rasis dan direndahkan oleh warga lokal Bali". Ada yang bilang pernah dibentak oleh petugas hotel, ada yang mengaku pernah diacuhkan oleh pelayan yang memprioritaskan bule, dan masih banyak lagi.
![]() |
Postingan-postingan yang menyebut "Bali Rasis" | Tiktok, Instagram |
Karuan saja, cerita-cerita ini pun viral dan memancing kemarahan. Masalah pun makin keruh dengan kehadiran akun anonim mengatasnamakan orang Bali yang mengejek dan menghina daerah lain.
Sejumlah warganet yang emosi kemudian bereaksi keras. Mereka menuduh Bali "sombong", "arogan", dan mengajak semua orang untuk memboikot Bali agar "pariwisata mereka bangkrut".
Bahkan ada pula yang mengancam akan melakukan "balas dendam" dengan menyerang orang Bali perantauan, yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
Fenomena ini terasa sangat aneh dan janggal, sebab bertepatan dengan tumbuhnya gerakan "Kebangkitan Nusantara".
Gerakan ini berusaha mengajak masyarakat untuk kembali kepada budaya hingga ajaran warisan leluhur Nusantara. Selama ini, budaya hingga kepercayaan lokal Nusantara seringkali ditelantarkan bahkan dimusuhi karena dianggap "sesat" hingga "dosa".
Para pemeluknya pun kemudian dipaksa untuk menganut salah satu dari enam agama resmi negara, yang semuanya ajaran asing. Jika menolak, maka yang bersangkutan akan dianggap "tidak beragama" dan mendapat berbagai stigma "atheis" atau "komunis".
Orang-orang dengan label seperti itu sudah pasti hidupnya akan kesulitan. Dikucilkan dari pergaulan, urusan administrasi dipersulit, dan dihambat jenjang karirnya.
Namun, dengan adanya gerakan kebangkitan Nusantara, masyarakat Indonesia mulai sadar betapa berharganya warisan leluhur mereka. Sadar bahwa nenek moyang mereka punya peradaban yang tak kalah hebat dengan Arab, Romawi, Yunani, Cina, dan India.
Tokoh-tokoh seperti Dedi Mulyadi (KDM) pun bermunculan dan menjadi primadona baru di panggung politik nasional. Berbeda dengan politisi lain yang menggunakan embel-embel agama, KDM justru menonjolkan diri sebagai pembela tradisi budaya Nusantara. Khususnya Sunda Wiwitan, kepercayaan asli orang Sunda di Jawa Barat dan Banten.
Untuk mewujudkan renaissance Tatar Sunda, KDM menjadikan Bali sebagai teladan (role model).
Menurutnya, Bali dan Sunda pada dasarnya berasal dari satu leluhur yang sama. Namun akibat perubahan kepercayaan dan dinamika sosial, Sunda akhirnya kehilangan budaya asli mereka. Ia menjadi masyarakat yang terombang-ambing oleh budaya asing di tengah pesatnya perkembangan jaman.
Hal ini berbeda di Bali. Meski perubahan datang silih berganti, mereka tidak meninggalkan peradaban warisan leluhur mereka. Struktur sosial budaya mereka begitu kokoh, sehingga membuat siapa saja yang melihatnya pun terpukau.
Dedi Mulyadi (tengah, udeng putih) berfoto bersama tokoh budayawan Sunda Wiwitan di Pangandaran, Jawa Barat | Tribunnews |
Kebudayaan juga menjadi magnet bagi jutaan pelancong dari seluruh dunia untuk datang ke Bali setiap tahunnya. Hasilnya, pulau kecil ini menjadi sangat terkenal, dan popularitas mereka melampaui negaranya Indonesia.
Pendekatan KDM yang tak biasa ini rupanya disambut positif oleh masyarakat Jawa Barat, yang barangkali sudah muak dengan politik agama. Ia menang telak dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada November 2024, menjadikannya sebagai gubernur Jawa Barat yang baru.
Akan tetapi, sejak saat itu pula, kampanye untuk menjatuhkan Bali kian gencar, dengan penggunaan diksi dan kalimat yang sangat keras juga brutal.
Fenomena ini tentu membuat kita bertanya-tanya. Terlebih, survei membuktikan Bali adalah provinsi paling ramah dan toleran di Indonesia. Para pendatang yang menetap dan bekerja di Bali pun menegaskan hal itu.
Namun, jika melihat dinamika masyarakat Indonesia selama satu hingga dua dekade terakhir, harusnya kita tidak perlu heran.
Pasca Reformasi 1998 yang menjatuhkan Soeharto dan rezim Orde Baru, Indonesia malah bergerak ke arah fanatisme agama. Kelompok-kelompok radikal menjamur dan menyebarkan ideologi mereka di segala lapisan masyarakat. Dari mimbar ceramah ke pendidikan sekolah, dari internet hingga media massa.
Setiap orang berlomba-lomba mengenakan atribut agama mereka, dari pakaian hingga gaya bahasa. Menyebabkan masyarakat terkotak-kotak berdasarkan identitas agama.
Disisi lain, kasus intoleransi beragama meningkat tajam. Aksi penolakan dan larangan pembangunan agama minoritas marak dimana-mana, terkadang berujung kericuhan. Belum lagi perilaku para pemuka agama yang gemar menjelekkan agama lain, dan memanfaatkan keluguan pengikutnya untuk memperkaya diri.
Adanya gerakan kebangkitan Nusantara tentu akan menggoyahkan status quo fanatisme agama yang dibangun susah payah. Terpilihnya KDM juga berpotensi melahirkan para pemimpin dengan ideologi dan pemikiran serupa di daerah lain.
Kaum radikalis jelas sekali tidak menyukainya. Mereka berusaha membendung tren ini dengan segala cara. Menjatuhkan reputasi KDM dan menghina agama-agama lokal sebagai "ajaran primitif" telah dilakukan.
Bali, yang menjadi inspirasi besar gerakan kebangkitan Nusantara, turut jadi sasaran karena mengancam agenda mereka. Dengan menciptakan permusuhan antara Bali dengan daerah lain, maka Bali kehilangan pesonanya di mata pegiat tradisi budaya Nusantara.
Pertunjukan Tari Kecak yang dipadati oleh wisatawan asing di Uluwatu, Bali | Traveloka |
Jika hal ini terbukti, maka kita menyaksikan bagaimana strategi "kebohongan besar" Goebbels sedang digunakan untuk mengobrak-abrik persatuan bangsa, sekaligus melemahkan upaya penduduk Nusantara untuk menemukan kembali jati diri mereka.
"Ketika bangsa lain sibuk memperkuat warisan leluhur mereka, sebagian orang Indonesia justru mati-matian menghancurkannya".
Gila
Social Plugin