Indonesia Hebat! Meski Pandemi Menggila, Pertumbuhan Ekonomi Meroket Jadi 7,07 Persen

 

Presiden RI Joko Widodo, dan ilustrasi pertumbuhan ekonomi | Kompas

Pandemi Covid-19 telah menyebabkan krisis ekonomi di berbagai negara. Tak terkecuali Indonesia

Selama periode 2020-2021, negara berpenduduk 270,6 juta ini menghadapi berbagai guncangan dalam perekonomian.  Pada kuartal-II 2020, misalnya, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi dengan mencatat pertumbuhan sebesar minus 5,32%.

Kondisi tersebut disinyalir akibat menurunya angka investasi, dan konsumsi rumah tangga. Selain itu, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) juga 

"Kita memiliki kondisi paling tidak, jika dibandingkan dengan negara lain pada kuartal-II, dimana kontraksi Indonesia mencapa 5,3%, ini tentu sesuatu yang sangat dalam dibandingkan selama 10 tahun terakhir tumbuh diatas 5%," kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani ketika itu, dikutip dari CNBC Indonesia.

Namun, satu tahun kemudian, mereka berhasil mengatasi krisis yang ada, bahkan hingga melampaui pencapaian sebelum pandemi.

Dikutip dari Antaranews, perekonomian Indonesia tecatat tumbuh sebesar 7,07% selama kuartal-II 2021. Ditengah situasi pandemi seperti ini, angka tersebut terbilang fantastis. 

Pasalnya, negara-negara lain kini masih berjuang melawan resesi akibat rendahnya pertumbuhan ekonomi.

"Hal ini menunjukkan pemulihan ekonomi terus berlanjut, dan tingginya angka kepercayaan masyarakat maupun investor terhadap Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) yang dilakukan pemerintah," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dilansir Jawa Pos.

Airlangga menjelaskan, keberhasilan pemulihan ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari kuatnya pertumbuhan demand (permintaan) dan supply (penawaran).

Dari sisi demand, pemerintah telah mendorong pertumbuhan konsumsi pemerintah sebesar 8,06% (yoy). Komitmen tersebut berhasil meningkatkan konsumsi rumah tangga sebesar 5,93% (yoy) dan konsumsi Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) sebesar 4,12% (yoy).

"Membaiknya perekonomian global juga membuat ekspor tumbuh sangat tinggi sebesar 31,78% (yoy), disusul dengan impor yang tumbuh 31,22% (yoy)," terang Airlangga.

Sedangkan dari sisi supply, seluruh lapangan kerja dan usaha mengalami perbaikan.

"Sektor supply semua sektor tumbuh positif menunjukkan perbaikan akibat meningkatnya permintaan domestik. Di sektor transportasi serta akomodasi, makanan, minuman tumbuh tinggi masing-masing 25,1 persen dan 21,58 persen karena mobilitas tinggi," tambahnya.

Tak Berarti Normal

Meski telah mencatatkan pemulihan, sejumlah ahli memperingatkan pemerintah agar tidak puas diri.

Dikutip dari Merdeka.com, Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute For Development on Economic and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho menyebut pertumbuhan yang tinggi saat ini tidak berarti ekonomi telah kembali normal.

Menurutnya, jika dibandingkan sebelum Covid-19, pertumbuhan pada kuartal-II tahun ini baru 3,87 persen. Selain itu, ada berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh perekonomian. Seperti Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), dan ledakan varian Delta, yang menyebabkan terhambatnya mobilitas publik.

Masyarakat bermain bola di jalan protokol yang ditutup selama PPKM Darurat di Bandar Lampung, Lampung | Tribun

"Artinya, aktivitas semuanya belum kembali normal seperti sebelum adanya Covid-19. Kita harus menjalani beberapa hal penting, seperti protokol kesehatan, social distancing, memakai masker, dan lain sebagainya," jelas Andry.

Tak hanya Indonesia, lonjakan varian Delta juga melanda sejumlah negara. Termasuk Amerika Serikat (AS) dan Cina, yang notabene mitra dagang terbesar negara kita.

Karena itu, ada potensi surplus kita berkurang, dan menjadi ancaman bagi pertumbuhan ekonomi selama kuartal-III.

"Saya kira permintaan akan melambat dari beberapa negara mitra dagang," tambahnya.

Maka dari itu, kunci pemulihan ekonomi adalah penanganan pandemi Covid-19. Semakin lama penanganan pandemi, semakin lama pula ekonomi kita akan pulih.