Angkat Senjata: Ketika Pendemo Myanmar Pilih Jalan Kekerasan

 

Berbekal senjata rakitan, demonstran Myanmar coba melawan pasukan junta militer | Outlook India

Februari 2021, tepat setahun yang lalu, kudeta yang dilancarkan oleh militer sukses menggulingkan pemerintahan demokratis Myanmar.

Tatmadaw, demikian sebutan untuk militer dalam bahasa setempat, menyerbu masuk kediaman sejumlah petinggi negara di Naypyidaw, ibukota Myanmar.

Aung San Suu Kyi, peraih Nobel Perdamaian 1990 yang menjadi Penasihat Negara Myanmar, serta Presiden Myanmar Win Myint ditangkap oleh Tatmadaw.

Mereka kemudian didakwa di pengadilan dengan berbagai macam tuduhan. Mulai dari korupsi hingga mendalangi kecurangan pemilu. 

Pada November 2020, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi berhasil memenangkan pemilu, dan menguasai 396 dari 476 kursi yang tersedia.

Namun, Partai Uni Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang didukung militer menyebut pemilu tersebut "penuh kecurangan". USDP merupakan pemimpin oposisi dan rival terbesar bagi pemerintahan NLD.

Pihak militer kemudian mengklaim menemukan 8,6 juta daftar pemilih yang bermasalah di 314 kotapraja, yang membuat pemilih memberikan banyak suara dan melakukan "kecurangan pemungutan suara"

Namun, tudingan ini ditolak oleh Komisi Pemilihan Umum Myanmar. Mereka menyebut tidak ada bukti terjadinya kecurangan dalam pemilu kali ini.

Tidak terima, Tatmadaw secara bertahap melakukan konsolidasi pasukan, dan menggulingkan pemerintahan sah.

Ketika berita mengenai kudeta pertama kali disiarkan, masyarakat Myanmar tidak tahu apa yang harus dilakukan. Minimnya reaksi publik disebabkan oleh putusnya jaringan komunikasi.

"Pagi itu sambungan internet dan telepon terputus," kata Moe Sandar Myint, aktivis serikat pekerja terkemuka di Hlaing Tharyar, distrik industri di Yangon.

"Awalnya, kami tidak percaya berita itu, tapi setelah kami pergi membeli radio, kami tahu kudeta itu benar terjadi"

"Kami hancur. Itu adalah hari kegelapan bagi kami. Myanmar baru saja berkembang. Mencari tahu bagaimana caranya melawan para diktator adalah yang paling penting bagi kami," ucap Moe.

Kesempatan untuk melawan kemudian datang dari politisi NLD, Win Htein. Pria berusia 79 tahun yang juga penasihat kepercayaan Suu Kyi itu menyerukan pembangkangan sipil.

Cara tersebut pernah dipakai sebelumnya oleh Suu Kyi ketika melawan pemerintahan junta militer selama kurang lebih 30 tahun.

Dimotori oleh pekerja kesehatan dan guru yang mogok kerja, Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM) berdiri sebagai wadah perjuangan demokrasi rakyat.

Gerakan ini dengan cepat mendapat dukungan dari serikat dagang, PNS, seniman, etnis minoritas, dan kelompok LGBT+.

Dengan membawa poster Suu Kyi dan menyuarakan gerakan tanpa kekerasan, ribuan orang turun ke jalan menuntut dikembalikannya pemerintahan yang terpilih secara sah.

Mereka juga menggunakan cara unik dan kreatif untuk "mengerjai" Tatmadaw. Seperti melakukan protes diam, menempelkan foto petinggi Tatmadaw di jalanan untuk mengganggu laju kendaraan bersenjata, dan memboikot perusahaan yang terkait dengan Tatmadaw.

Sementara itu, para anggota DPR dari NLD yang terpilih tahun 2020 membentuk Committee Representing Pyidaungsu Hluttaw (CRPH), sebuah parlemen bayangan yang berfungsi mendukung pemerintahan sementara Myanmar atau National Unity Government (NUG).

Aparat bersenjata Myanmar memukuli demonstran yang mencoba melarikan diri | Daily Sabah

Namun, aksi damai yang dilancarkan kubu pro-demokrasi dibalas dengan cara kekerasan. Tatmadaw mulai melakukan penembakan terhadap pengunjuk rasa.

Pada tanggal 14 Maret 2021, sebanyak 67 orang tewas akibat diterjang peluru aparat Tatmadaw. Salah satu dari mereka adalah gadis berusia 13 tahun, yang meregang nyawa di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar.

Sementara pada 27 Maret 2021, Tatmadaw telah membunuh 114 pengunjuk rasa dalam waktu satu hari saja, termasuk anak kecil berusia 5 tahun.

"Saya sedang membahas rencana aksi berikutnya bersama pemimpin serikat pekerja lain. Tiba-tiba, kami mendengar militer sedang menuju kemari, dan langsung berpencar," terang Moe.

"Mereka telah memblokade jalan keluar dari Hlaing Tharyar, dan menembaki kami. Sejumlah orang tewas, termasuk beberapa pekerja saya"

"Pertama-tama, mereka menembak dari arah tengah, lalu dari samping dan belakang kami"

"Kami berusaha untuk melindungi diri, tapi tidak ada yang mampu menahan terjangan peluru," tambahnya, sembari mengingat suaminya Ko Aung yang berada di jalan bersama para pengunjuk rasa.

Organisasi HAM Myanmar Witness, yang menggunakan satelit untuk memverifikasi kejahatan kemanusiaan, memperkirakan sebanyak 80 orang tewas di Hlaing Tharyar.

Meski dikecam oleh dunia internasional, kebrutalan Tatmadaw justru semakin menjadi. Mereka mulai mengejar setiap demonstran yang melarikan diri ke pemukiman, dan langsung menembaknya begitu saja.

Beberapa demonstran malah ditembaki setelah berada di rumah sendiri.

"Mereka menembaki kami seperti burung atau ayam, bahkan ketika kami berada di rumah kami," kata Thu Ya Zaw, warga kota Myingyan.

Melihat situasi yang kian berdarah, NUG merasa perlu memberikan perlindungan kepada masyarakat, terutama demonstran penentang Tatmadaw.

Senjata dan Teror

Pasukan Angkatan Pertahanan Rakyat (PDF) yang telah dilatih untuk menghadapi rezim militer | EPA

Pada Mei 2021, NUG mendirikan Angkatan Pertahanan Rakyat (PDF), sebuah kelompok bersenjata dengan anggota dari berbagai elemen masyarakat, termasuk etnis minoritas yang selama ini terpinggirkan.

PDF juga bekerja sama dengan sejumlah kelompok militan lokal, terutama yang telah lama berkonflik dengan militer Myanmar. 

Dengan komposisi yang unik dan beraneka ragam, NUG berupaya menjadikan PDF sebagai embrio bagi Tentara Federal Myanmar di masa depan.

Sempat ada wacana untuk meminta bantuan asing melalui Responsibility to Protect (R2P), prinsip dan kesepakatan internasional untuk mencegah genosida, kejahatan perang, dan pelanggaran HAM lainnya 

Namun, intervensi pasukan asing bisa menimbulkan perpecahan dalam gerakan pembangkangan sipil, dan memperparah krisis kemanusiaan.

Meski demikian, dunia internasional khususnya negara tetangga Myanmar dapat menempuh cara lain untuk menekan Tatmadaw. 

Ini termasuk, antara lain sanksi keuangan terhadap pejabat dan bisnis militer, embargo senjata, isolasi diplomatik, permohonan yuridiksi universal, dan penyerahan situasi di Myanmar kepada Mahkamah Kriminal Internasional di Den Haag.

Sejak berdiri, PDF telah melakukan serangkaian latihan tempur di wilayah hutan dan pegunungan, dan mempelajari taktik gerilya.

Pada 12 Oktober 2021, pasukan PDF menyerbu konvoi kendaraan militer di Jalan Chaung-U-Pakkoku, wilayah Magway. Konvoi tersebut melakukan perjalanan dari kota Monywa di wilayah Sagaing.

Dua kendaraan militer hancur, dan sejumlah anggota Tatmadaw tewas. Namun, jumlah korban tewas tidak diketahui pasti, karena Tatmadaw memblokade jalan setelah membawa jenazah anggota mereka.

Sehari sebelumnya, PDF cabang kota Yesagyo mengklaim bertanggung jawab atas serangan roket terhadap pasukan Tatmadaw di Desa Hpu Lon. 

Dalam serangan tersebut, mereka meluncurkan tiga roket secara gerilya ke markas Tatmadaw.

15 November 2021, PDF kembali melancarkan serangan terhadap pasukan militer di Kawhmu, Yangon. Wilayah ini merupakan daerah pemilihan Suu Kyi ketika memenangkan kursi parlemen.

Akibatnya, sebanyak dua anggota militer mengalami kritis akibat luka yang mereka derita. 

Sementara itu, masyarakat yang tidak bergabung dengan PDF atau kelompok milisi mulai melancarkan aksi teror terhadap anggota Tatmadaw, dan orang-orang yang memiliki hubungan dengan militer.

Pada Mei 2021, sebuah bom parcel meledak di sebuah pesta pernikahan di Yangon. Serangan tersebut menewaskan mempelai perempuan, Win Pa Pa; serta dua orang kerabat yang masing-masing berusia 19 dan 21 tahun.

Mempelai pria, Chit Min Thu merupakan salah satu peserta dalam demonstrasi mendukung Tatmadaw. Ia terlihat membawa foto Min Aung Hlaing, pemimpin Tatmadaw yang menjadi penguasa Myanmar pasca kudeta, dalam acara tersebut.

Ia juga dicurigai sebagai informan bagi Tatmadaw. Salah satu biksu yang memberkati pernikahannya adalah U Pyinnyarwuntha, yang dikenal ultranasionalis dan kerap melontarkan sentimen anti-muslim.

Chit Min Thu membawa gambar Min Aung Hlaing dalam demonstrasi mendukung Tatmadaw di Yangon | Myanmar Now

Serangan bom turut menyasar sekolah, yang sebagian besar diduduki oleh militer. Aktivitas pendidikan di Myanmar lumpuh setelah para guru mogok kerja dan ikut berdemo menentang kudeta.

Tatmadaw telah memerintahkan para orang tua untuk memasukkan kembali anak mereka ke sekolah. Namun, ketiadaan guru dan tenaga pengajar membuat hal itu sulit dilakukan.

Teror bom diduga merupakan upaya agar aktivitas pendidikan tetap berhenti, selama Tatmadaw tidak mengembalikan kekuasaan kepada pemerintahan sah.

Eskalasi kekerasan yang terus meningkat membuat banyak orang cemas. 

“Akan sulit untuk dihentikan begitu kekerasan semacam ini menjadi budaya. Sulit untuk menutup dinamika ini lagi nanti,” kata Richard Horsey, penasihat urusan Myanmar di Crisis Group.

NUG telah menghimbau kepada kelompok anti-kudeta untuk mematuhi etika, dan tidak menargetkan sekolah atau rumah sakit

Radikalisasi yang terjadi di kalangan demonstran juga dikhawatirkan akan menciptakan siklus kekerasan yang panjang. 

Sejarah telah mencatat, banyak perubahan penting yang diambil dari cara tidak tenang dan penuh kekerasan. Mulai dari kejatuhan feodalisme, kesetaraan gender, hingga hak-hak pekerja.

Namun, tidak semua berakhir mulus. Negara-negara Timur Tengah, misalnya. Pasca kejatuhan pemerintahan diktator akibat Revolusi Musim Semi, perang saudara terus berlanjut tanpa henti.

Kita bisa lihat hal tersebut dengan jelas di Libya, Suriah, hingga Irak.

Akan tetapi, ketika rakyat yang menentang kediktatoran militer harus mengalami pembantaian, penculikan, hingga pemerkosaan, prinsip non-kekerasan mungkin tidak akan membawa hasil yang cukup.

Wajar bila orang-orang yang awalnya cinta damai, tiba-tiba memilih untuk angkat senjata.

Apakah pendemo Myanmar akan terus bertahan, atau melawan?

Jika dilihat dari situasi saat ini, rakyat telah memberikan perlawanan balik, dengan cara paling keras yang pernah terlihat dalam sejarah negeri itu. 

Mereka telah siap untuk mengorbankan jiwa raga mereka demi satu impian terbesar.

Myanmar yang demokratis, sejahtera, dan paling penting: bebas dari diktator militer.












Banner iklan disini