Citayam Fashion Week Bisa Untungkan Masyarakat, Jangan Dibubarkan

 

Anak-anak muda berkumpul dengan pakaian modis di Citayam Fashion Week | Kompas.com

Belakangan ini, Citayam Fashion Week (CFW) sedang menjadi perbincangan hangat di tanah air.

CFW merupakan sebuah event peragaan busana yang digelar di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD), Dukuh Atas, Jakarta. Namun, berbeda dengan fashion show pada umumnya, CFW digelar di jalan raya kawasan perkantoran itu.

Pesertanya pun bukan dari kalangan model papan atas, melainkan anak-anak dan remaja yang datang dari wilayah pinggiran Jakarta. Khususnya Citayam, daerah yang terletak di perbatasan Kabupaten Bogor dan Kota Depok.

Dengan pakaian buatan sendiri, mereka berlenggak-lenggok di atas zebra cross yang disulap layaknya catwalk. Desainnya pun unik, stylish, dan kadang justru mengundang tawa karena kelewat kreatif.


Tidak hanya menarik perhatian masyarakat Indonesia, CFW juga menjadi sorotan media asing.

Media Jepang Tokyo Fashion memuji CFW sebagai "embrio perkembangan street fashion di Indonesia. Mereka pun membandingkan CFW dengan Harajuku.

Harajuku merupakan sebuah distrik di Tokyo, Jepang yang dikenal sebagai kiblat street fashion dunia. Disana, anak-anak muda berkumpul dengan busana yang "nyeleneh" di sepanjang jalan Stasiun Harajuku hingga Omotesando

Anak-anak muda berpakaian "nyeleneh" di Harajuku | Medium

Namun, ditengah gemerlap catwalk jalanan SCBD, CFW justru diwarnai oleh aksi-aksi yang dapat "membunuh keberadaan mereka". Mirisnya, itu dilakukan oleh publik figur dan kalangan atas.

Pada tanggal 20 Juli 2022, selebritis dan aktor Baim Wong mendaftarkan Citayam Fashion Week ke Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sebagai brand milik perusahaannya, PT Tiger Wong Entertainment.

Hal ini tentu dikecam oleh publik. Baim dianggap sebagai orang yang serakah, karena CFW bukan hasil karyanya. Kenapa dia justru yang mendaftarkan merek, dan mendapatkan keuntungan?


Kritikan juga datang dari Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil. Menurutnya, tidak semua hal harus dikomersilkan. CFW lahir dari jalanan, maka biarkan tetap hidup di jalanan.

"Fenomena #CitayamFashionWeek itu adalah gerakan organik akar rumput yang tumbuh kembangnya harus natural dan organik pula," tulis Ridwan dalam postingan Instagram.

"Biarkan ini jadi cerita, bahwa fashion jalanan tetap adanya di jalanan. Bukan di Sarinah, bukan di podcast, bukan pula harus menginternasional"

Tak tahan dengan kecaman dari kanan-kiri, akhirnya Baim mencabut pendaftaran merek CFW dari PDKI dengan berurai air mata.

Tidak hanya perilaku Baim, sejumlah warganet juga banyak yang menuntut agar CFW dibubarkan saja. Alasannya beragam. Ada yang bilang karena norak, memalukan, hingga tidak sesuai dengan budaya Indonesia. 

Bahkan, ejekan dekil, kampungan, lusuh dan sebagainya juga dilontarkan netizen maha budiman.

Semua itu bisa membuat anak muda yang tampil menjadi tertekan dan down, sehingga CFW akan mati secara perlahan. Padahal, jika dikembangkan dengan baik, CFW dapat mendatangkan keuntungan besar bagi masyarakat.

Belajar dari Harajuku

Takeshita Street di Harajuku, surga para remaja Jepang | Live Japan

Seperti yang sudah dijelaskan, Harajuku merupakan kiblat street fashion dunia yang dipenuhi anak muda berpakaian nyentrik. Fenomena subkultur ini muncul pada tahun 1980-an.

Sama seperti CFW, awalnya Harajuku juga kurang diterima dengan baik, khususnya bagi orang tua yang risih dengan "pakaian gila" generasi muda. Pemilik bisnis di Harajuku juga memberikan tanggapan dingin.

Namun, semua berubah ketika desainer dan mahasiswa dari perguruan tinggi mode mulai terlibat. Mereka membawa anak-anak Harajuku untuk menjadi model dan asisten dalam proyek mereka. 

Lambat laun, nama Harajuku semakin moncer di dunia fashion. Ia dianggap sebagai gambaran masa depan mode Jepang, dan simbol perlawanan terhadap norma sosial yang begitu ketat.


Jalanan di kawasan tersebut, seperti Takeshita Street mulai dipenuhi oleh gerai-gerai pakaian, dan anak-anak muda menjadi pelanggan utama. Perputaran uang pun terjadi disana.

"Hal lain yang membuat sebagian orang lebih mudah menerima fenomena fashion jalanan adalah anak-anak ini menghabiskan uang di toko-toko lokal di Harajuku. Tak ada yang membuat kalangan skeptis (fashion) lebih bahagia daripada ada pelanggan yang membayar," tulis Tokyo Fashion.

Harajuku juga melahirkan aliran fashion baru yang disebut cosplay, yaitu peragaan busana yang meniru pakaian tokoh-tokoh komik (manga) dan anime. 

Para pemain cosplay tokoh anime Naruto di World Cosplay Festival | Wikimedia

Jika anda datang ke festival budaya Jepang, yang biasa digelar di sekolah atau universitas, pasti akan bertemu dengan anak muda yang melakukan cosplay. Nah, budaya ini berasal dari Harajuku, dan telah menyebar begitu pesat ke seluruh dunia. 

Popularitas kultur Harajuku yang telah sampai tingkat internasional telah mendatangkan keuntungan tersendiri bagi ekonomi nasional Jepang. 

Industri kreatif telah menyumbang pendapatan sebesar 44 triliun Yen (Rp 4.800 triliun), atau sekitar 6,6 persen dari total pemasukan negara.

Sebagai perbandingan, total pendapatan negara Indonesia tahun 2021 mencapai Rp 2.003 triliun. Artinya, dari industri kreatif saja, Jepang mendapatkan dua kali lipat dari pendapatan negara kita.

Hanya dari industri kreatif!

Potensi sebesar itu bisa saja didapatkan dari Citayam Fashion Week. Cuma, selama masih ada orang-orang berpikiran licik, kolot dan terbelakang, keuntungan tersebut akan sulit diwujudkan. 

Masyarakat menonton Citayam Fashion Week dengan antusias di Jakarta | Detik.com

Perlu ada keterlibatan pemerintah, desainer, dan pegiat industri kreatif agar kultur anak muda pinggiran Jakarta ini tidak hanya menjadi fenomena sesaat. Sehingga memiliki nilai ekonomis.

Berikan sosialisasi bahwa Citayam Fashion Week adalah produk budaya yang dapat membangkitkan kreatifitas generasi muda, sesuatu yang diperlukan dalam pembangunan bangsa. 

Keunikan dan kebebasan berekspresi seharusnya tidak dipandang sebagai tindakan tercela yang durhaka terhadap moralitas. 

Apakah Jepang menjadi tidak bermoral ketika fenomena Harajuku muncul? 

Tidak, dan mereka justru bisa dibilang jauh lebih bermoral dari kita. Angka korupsi rendah, budaya malu tinggi, tingkat kejahatan juga sangat minim. 

Sementara Indonesia, sebagai salah satu masyarakat paling religius di dunia, justru diwarnai oleh korupsi, aksi kriminalitas, suap pejabat sana-sini, dan segudang pelanggaran lain.

Maka dari itu, masyarakat Indonesia perlu belajar dari negara maju tentang moralitas yang sesungguhnya. Nilai-nilai moral yang tidak mengekang kebebasan berpikir dan kreativitas.





























Banner iklan disini