Charles III dan Truss Naik Saat Inggris Babak Belur Dihajar Krisis

 

Raja Charles III (kiri) dan Liz Truss di tengah krisis Inggris | BBC, Wikimedia, LBC

Untuk pertama kali dalam sejarah, Inggris mengganti pemimpin monarki dan perdana menteri dalam waktu seminggu.

Pada tanggal 5 September 2022, Liz Truss resmi menjadi perdana menteri setelah memenangkan pemilihan ketua Partai Konservatif yang berkuasa. Dalam kompetisi tersebut, Truss mengalahkan Rishi Sunak, politisi keturunan India sekaligus mantan menteri keuangan Inggris.

Namun, kemenangan Truss kurang disambut baik oleh publik. Berdasarkan survei dari YouGov, hanya sekitar 4 persen responden yang menyambut baik, sementara 67 persen mengaku kecewa dengan terpilihnya Truss. Mereka merasa skeptis dengan kinerja Truss, terutama ketika masih menjabat Menteri Luar Negeri Inggris.

Sejumlah negara juga mengutarakan kekecewaan mereka terhadap Truss. Rusia, yang telah bersitegang dengan Inggris sejak invasi mereka ke Ukraina pada Februari 2022, mengejek Truss sebagai "politisi Barat yang dangkal dan penuh ketidaktahuan"

Hal ini tidak terlepas dari kesalahan yang dilakukan Truss ketika bertemu Menlu Rusia Sergey Lavrov. Ia secara tidak sengaja mengatakan bahwa Inggris tidak akan mengakui kedaulatan Moskow atas dua kota Rusia, Rostov dan Voronezh. Truss juga keliru tidak bisa membedakan Laut Baltik dan Laut Hitam.

Satu hari setelah terpilih, Truss dilantik oleh Ratu Elizabeth II di Kastil Balmoral, yang terletak di Skotlandia. Momen tersebut membuat Truss jadi perdana menteri pertama yang dilantik di Balmoral selama Elizabeth II berkuasa.

Tidak ada yang menyangka, hari itu merupakan kali terakhir sang ratu melantik perdana menteri. Pada tanggal 8 September 2022, dua hari kemudian, Ratu Elizabeth II wafat di Balmoral dalam usia 96 tahun. 

Selama beberapa pekan terakhir, kesehatan beliau memang menurun drastis. Keputusan untuk membawa ratu ke Balmoral juga karena alasan kesehatan. Ketika bersalaman dengan Truss, tangan Elizabeth II juga terlihat berwarna biru. Menunjukkan bahwa kondisi beliau semakin mengkhawatirkan.

Dengan wafatnya ratu, putra mahkota Pangeran Charles langsung naik takhta menjadi Raja Charles III. Untuk pertama kali dalam 70 tahun, Inggris kembali dipimpin oleh seorang raja. Namun, sosok Charles III sendiri kurang disukai oleh publik, khususnya pasca terlibat skandal perselingkuhan dan perceraian dengan Putri Diana tahun 1990-an.

Punya masalah berbeda, baik Charles III maupun Truss menghadapi tantangan yang sama. Yaitu menyelamatkan Inggris yang semakin babak belur dihajar krisis.

Biaya Hidup Membengkak

Sejumlah pengunjuk rasa memprotes naiknya biaya hidup di Inggris | Financial Times

Krisis di Inggris telah dimulai sejak tahun 2020. Pandemi COVID-19 yang melanda seluruh dunia menyebabkan banyak negara memberlakukan lockdown, termasuk Inggris. Akibatnya, banyak orang harus melakukan social distancing, hingga bekerja dan belajar dari rumah.

Namun, tidak semua bisa melakukan itu. Para pekerja yang mencari nafkah sebagai pelayan, pegawai hotel, kuli bangunan, dan supir tidak mungkin bekerja dari rumah. Akibatnya, lockdown membuat mereka harus kehilangan pekerjaan, dan pengangguran menigkat hingga 5,1 persen. 

Keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa (UE), dikenal sebagai Brexit, juga menyulitkan pekerja asing untuk masuk ke Inggris. Khususnya imigran dari Eropa Daratan. Sebelumnya, saat masih menjadi anggota UE, Inggris membebaskan visa bagi pekerja Eropa karena terikat Perjanjian Schengen. Pasca Brexit, kebijakan itu otomatis dicabut

Ketiadaan para pekerja tersebut juga berdampak pada suplai kebutuhan masyarakat. Karena melakukan PHK massal, banyak pabrik harus mengurangi kapasitas produksi mereka. Begitu juga dengan distribusi yang terhambat karena kurangnya pekerja angkutan barang dan supir truk.

Dua faktor tersebut menjadi kunci terjadinya kelangkaan. Sejumlah barang kebutuhan pokok seolah lenyap dari pasaran, mengakibatkan antrian panjang di seluruh penjuru Inggris. 

Misalnya pada Oktober 2021, Inggris mengalami kelangkaan bahan bakar akibat kekurangan jumlah supir truk yang mampu mendistribusikan bensin ke SPBU. Stok makanan seperti daging, telur, sayuran, dan buah tampak kosong di supermarket.

Selama berbulan-bulan situasi tersebut tidak banyak berubah. Semua upaya sudah dilakukan, namun tidak banyak membuahkan hasil. Seolah beranak pinak, krisis tersebut melahirkan krisis yang baru. Yaitu membengkaknya biaya hidup.

Menurut hukum permintaan, sebuah prinsip dasar dalam ilmu ekonomi, jumlah barang di pasaran berbanding terbalik dengan harga. Jika harga suatu barang turun, maka permintaan terhadap barang tersebut akan meningkat. Sebaliknya, jika harga barang naik, maka permintaan terhadap barang akan menurun.

Inilah yang terjadi di Inggris. Kelangkaan telah membuat harga barang begitu tinggi. Sementara daya beli masyarakat semakin rendah karena pertumbuhan pendapatan (tingkat kenaikan gaji) tidak mampu mengimbangi inflasi.

Krisis ini diperparah dengan kondisi geopolitik di Eropa. Perang Rusia-Ukraina yang berlangsung sejak Februari 2022. Inggris banyak kehilangan komoditas yang biasa dipasok oleh kedua negara tersebut. Misalnya gandum dan gas alam. 

Memasuki musim dingin, gas alam semakin dibutuhkan masyarakat Inggris karena berfungsi sebagai bahan bakar pemanas ruangan dan listrik. Suhu rata-rata di Inggris sangat rendah, mencapai 2 sampai 7 derajat celsius pada musim dingin. Dalam kondisi tertentu, temperatur bisa lebih rendah lagi. Tanpa pemanas atau listrik, banyak orang terancam tewas kedinginan.

Krisis biaya hidup telah membuat masyarakat Inggris tidak tahan lagi. Mereka turun ke jalan dan melancarkan protes kepada pemerintah. Pada Juni 2022 lalu, Inggris diguncang unjuk rasa para pekerja yang menuntut kenaikan upah setinggi-tingginya, demi menyiasati biaya hidup. Dan masih banyak lagi.

Langkah Pertama Truss dan Charles III

Raja Charles III bertemu Liz Truss di Istana Buckingham, London | AFP

Tak lama setelah mengemban jabatan, Charles III dan Truss sadar bahwa tanggung jawab mereka sangat besar. 

Jumat (9/9/2022), atau satu hari setelah kematian ratu, keduanya bertemu di Istana Buckingham, London, Inggris. Pertemuan diawali dengan ucapan belasungkawa Truss atas wafatnya Elizabeth II. Kemudian, Charles III dan Truss membicarakan banyak hal. Salah satunya adalah rencana berkeliling Inggris untuk memperkenalkan raja dan perdana menteri yang baru kepada publik.

Keduanya juga telah merancang agenda masing-masing untuk memecahkan krisis dalam negeri. Raja Charles III dikabarkan akan "mengurangi" jumlah anggota keluarga kerajaan yang mengemban tugas negara, menjadi tujuh orang saja. Hal ini dilakukan demi menekan pengeluaran kerajaan. Sehingga anggaran negara bisa disalurkan untuk penanganan krisis, atau kebutuhan rakyat di masa depan.

Pangeran Harry dan Pangeran Andrew berpotensi menjadi salah satu anggota keluarga kerajaan yang "dibebaskan" dari tugas negara. 

Pangeran Harry dan istrinya Meghan menjadi kontroversi setelah dianggap "menyudutkan" keluarga kerajaan dalam berbagai kesempatan. Keputusan mereka mundur sepihak dari tugas-tugas monarki juga melahirkan konflik dengan keluarga Inggris. 

Sedangkan Pangeran Andrew jauh lebih memalukan. Ia dituduh telah melakukan pemerkosaan kepada seorang wanita bernama Virginia Giuffre pada tahun 2001. Ketika itu, Giuffre yang masih berusia 17 tahun dipaksa untuk berhubungan badan dengan Pangeran Andrew. 

Sementara itu, Truss mengambil langkah pertama dengan memberikan lebih banyak otorisasi terhadap pengeboran minyak dan gas di Laut Utara demi menambah pasokan bahan bakar. Untuk memuluskannya, pemerintah mencabut larangan fracking, metode konvensional untuk menggali bahan bakar fosil.

Namun, kebijakan ini mendapat banyak kritikan. Sir David King, Ketua Climate Crisis Advisory Group, menyebut langkah Truss telah mengabaikan masalah iklim dan lingkungan dunia. Padahal, Inggris menargetkan bebas emisi karbon pada tahun 2050 mendatang.

"Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memahami masalah iklim dengan baik," tegas King.

























Banner iklan disini