Mahsa Amini Tewas, Rakyat Iran Bakar Hijab: Kami Sudah Muak!

 

Tewasnya Mahsa Amini dan kemarahan rakyat atas rezim Mullah Iran | BBC, Reuters

Kematian Mahsa Amini memicu "ledakan amarah" rakyat kepada rezim Mullah Iran yang represif

Hari itu, Mahsa Amini sedang berkunjung ke Teheran, ibukota Iran. Ia datang bersama keluarganya dari Kota Saqez, Provinsi Kurdistan untuk mengunjungi kerabatnya. Saat memasuki Jalan Raya Haqqani, ia terjaring oleh patroli polisi moral.

Polisi moral merupakan bagian dari Pasukan Penegakan Hukum Iran (LEF) yang bertugas menegakkan aturan moral masyarakat agar sesuai dengan nilai-nilai agama, khususnya masalah etika dan ketidaksopanan. Salah satunya adalah kewajiban wanita untuk menutup aurat dengan mengenakan hijab.

Aturan itulah yang membuat Amini ditangkap. Wanita berusia 22 tahun itu diduga melanggar ketentuan hijab yang baik dan benar. Namun, tak lama kemudian, Amini dilarikan ke rumah sakit setelah mengalami koma. 

Menurut informasi yang beredar, Amini mendapat kekerasan dari petugas. Bahkan, ketika masih di dalam mobil polisi, ia juga dipukuli di kepala dan beberapa anggota tubuh. Hal ini didukung oleh pernyataan pihak rumah sakit, yang mengklaim Amini telah mengalami kematian otak saat tiba disana.

Setelah 48 jam dirawat di rumah sakit, Amini akhirnya menghembuskan nafas terakhir. Kematian otak menyebabkan jantungnya ikut mengalami kegagalan. 

Tewasnya Amini memicu kemarahan publik Iran, yang selama ini menjadi korban tindakan represif dari rezim Mullah Iran.

Fanatik Agama

Sejak Revolusi 1979, Iran dikuasai oleh ulama Syiah yang disebut Mullah | Middle East Institute

Iran memang terkenal sebagai negara yang radikal dalam menerapkan ajaran agama, meskipun relatif lebih baik dari Taliban di Afghanistan. Fanatisme terhadap agama telah berlangsung sejak Revolusi Iran tahun 1979, yang melahirkan Republik Islam Iran.

Ketika itu, Iran dikuasai oleh Shah (raja) Reza Pahlavi, yang naik takhta pada tahun 1941. Dibawah kepemimpinan Pahlavi, Iran memosisikan diri sebagai negara sekuler yang berkiblat ke Barat. Alhasil, terjadi pemisahan antara agama dan negara, yang diiringi oleh industrialisasi dan modernisasi kehidupan masyarakat. 

Sebenarnya, sekularisasi berdampak sangat positif bagi Iran. Pada akhir 1960-an hingga dekade 1970-an, ekonomi Iran setara dengan Korea Selatan, Taiwan, dan Turki. Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan hingga dua digit, salah satu yang tercepat di dunia. Pertumbuhan ekonomi mencapai 10 persen per tahun, tertinggi dalam sejarah Iran.

Begitu pula dengan industri manufaktur yang tumbuh dengan pesat. Iran Khodro, yang didirikan oleh Khayami Bersaudara, merupakan perusahaan otomotif terbesar di Timur Tengah pada tahun 1978. Dengan mempekerjakan 12.000 orang, Iran Khodro memproduksi 136.000 kendaraan setiap tahunnya.

Dengan segala pencapaian mereka, banyak pengamat saat itu memperkirakan Iran akan menjadi negara maju dalam satu generasi mendatang. Namun, ada satu hal penting yang kurang, bahkan tidak dicontoh  Pahlavi dari Barat. 

Yaitu Demokrasi.

Selama berkuasa, Pahlavi dikenal sebagai sosok tangan besi. Ia tak segan memenjarakan lawan politiknya. Sasaran utama dari kebijakan ini adalah kelompok komunis dan Islam garis keras, yang menentang keras kebijakan sekularisme kapitalistik ala Barat. Kedua kelompok ini, entah bagaimana bisa, bekerja sama untuk menggulingkan kekuasaan Pahlavi. 

Padahal, ideologi mereka sangat bertentangan. Komunis bekerja sama dengan kelompok agama, hal seperti itu tidak akan pernah terjadi di negara lain. Apalagi Indonesia.

Peristiwa Jumat Berdarah, yang menewaskan demonstran anti-shah akibat diberondong tembakan aparat keamanan, membuat aliansi sayap kiri dan kanan kian solid. Namun, pengaruh kelompok agamis lebih menonjol dibandingkan komunis. Hal ini tidak terlepas dari sosok Ruhollah Khomeini, Mullah garis keras yang populer di Iran.

Khomeini dikenal sebagai penentang utama kekuasaan Pahlavi dan program kebijakan sekulernya. Akibatnya, ia disuruh angkat kaki dari negaranya oleh pemerintah. Selama bertahun-tahun, ia berkelana ke Perancis, Turki, hingga Iraq. Meski berada di pengasingan, Khomeini mampu menggerakan massa untuk terus menggoyang pemerintahan Pahlavi.

Pada tahun 1978, revolusi akhirnya pecah di Iran. Khomeini, yang saat itu masih berada di Iraq, menjadi pemimpin aksi demonstrasi dan kerusuhan di seluruh negeri. Revolusi yang berlangsung selama satu tahun tersebut sukses menggulingkan kerajaan. Sadar ia bukan siapa-siapa lagi, Pahlavi pun melarikan diri ke luar negeri, hingga meninggal dunia di Mesir tahun 1980.

Sekembalinya di tanah air, Khomeini mendeklarasikan berdirinya Republik Islam Iran tahun 1979. Ia langsung diangkat menjadi Pemimpin Tertinggi (Supreme Leader) Iran. Dengan jabatan ini, Khomeini mempunyai otoritas terhadap militer, hak veto terhadap hukum negara, dan menegakkan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat.

Syariat Islam yang diterapkan oleh Khomeini mencakup hal-hal yang bersifat privat. Para wanita diwajibkan untuk menutup rambut (aurat) mereka dengan hijab, sementara pria dilarang menggunakan celana pendek. Kalau melanggar, polisi moral akan menangkap anda, lalu memasukkan anda ke penjara.

Namun, hukum lebih keras ditegakkan kepada wanita. Memperlihatkan bahwa Khomeini berniat untuk mengatur tubuh, karir (wanita Iran dilarang untuk memegang pekerjaan tertentu secara hukum), hingga penampilan mereka. Hak-hak wanita untuk melawan pria atau suami yang tidak adil terhadap mereka juga dilucuti.

Ketika Khomeini wafat tahun 1989, tongkat estafet Pemimpin Tertinggi Iran diteruskan oleh Ayatollah Ali Khamenei. Sejak saat itu, tidak banyak yang berubah dari kebijakan religius Iran, sampai akhirnya Mahsa Amini menjadi salah satu korbannya.

Bakar Hijab

Pengunjuk rasa membakar hijab mereka sebagai protes terhadap tindakan rezim Mullah Iran | Herzindagi.com

Ketika berita kematian Amini tersebar ke publik, masyarakat Iran langsung meluapkan kemarahan mereka. Berawal dari postingan di media sosial, protes berkembang menjadi gerakan turun ke jalan. 

Demonstrasi dimulai di Saqez, kampung halaman Amini yang terletak di Provinsi Kurdistan. Protes kemudian menyebar dengan cepat ke berbagai kota, seperti Teheran, Ilam, Isfahan, Mahabad, Sari, dan Tabriz. Dalam waktu kurang dari dua minggu, hampir semua provinsi di Iran diguncang unjuk rasa.

Demonstrasi kali ini disebut sebagai yang terbesar dalam 43 tahun sejarah Republik Islam Iran. Hal ini menjadi keuntungan tersendiri bagi pengunjuk rasa, khususnya kaum wanita. Mereka dapat menyampaikan tuntutan dengan lebih keras, bahkan cenderung ekstrem.

Video yang beredar di media sosial memperlihatkan para demonstran wanita melepaskan hijab mereka, lalu membakarnya di jalan. Aksi tersebut disambut oleh tarian dan nyanyian oleh pengunjuk rasa yang lain. Sementara video lainnya menunjukkan aksi wanita Iran yang ramai-ramai memotong pendek rambut mereka sebagai solidaritas terhadap Amini.  

Adegan tersebut tidak hanya mengejutkan Iran, tetapi seluruh dunia, sebab menjadi simbol rasa muak publik terhadap rezim Mullah. Hijab pun dijadikan pelampiasan karena dilihat sebagai alat untuk mengekang kebebasan kaum wanita.

Para pengunjuk rasa meneriakkan slogan "wanita, kehidupan, dan kebebasan!" dan "matilah diktator!", ditujukan kepada Pemimpin Tertinggi Khamenei. Sementara remaja dan kaum pria, yang ikut bersimpati terhadap Amini dan mendukung kesetaraan gender, baku hantam dengan aparat keamanan.

"Kami adalah anak-anak perang. Maju dan bertarunglah, kami akan melawan balik!" seru mereka.

Pria dan remaja Iran bentrok dengan aparat saat demonstrasi | New York Times

Seperti yang sudah diperkirakan, polisi dan aparat keamanan lainnya menghalau unjuk rasa dengan kekerasan. Dua minggu sejak protes dimulai, sebanyak 76 demonstran tewas dibunuh oleh aparat keamanan. Ratusan orang dijebloskan ke tahanan, termasuk 20 wartawan. Angka ini masih terus bertambah.

"Risiko penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap demonstran adalah hal yang serius. Penggunaan senjata untuk menghalau unjuk rasa adalah kejahatan internasional," tegas Mahmood-Amiry Moghaddam, direktur Iran Human Rights (IHR), lembaga kemanusiaan yang berbasis di Norwegia.

IHR mengaku telah mendapatkan berbagai video dan sertifikat kematian, yang membuktikan adanya kekerasan aparat terhadap demonstran. 

Otoritas setempat juga mematikan jaringan internet, dengan alasan untuk mencegah tersebarnya kabar bohong atau hoax yang dapat memperkeruh situasi. Namun, pengamat menuding langkah ini sebagai upaya untuk menutupi pembunuhan demonstran.

Pemerintah Iran membantah bahwa pihaknya telah membantai pengunjuk rasa. Padahal, Presiden Iran Ebrahim Raisi  mengancam akan menggunakan tindakan tegas tanpa ampun kepada "para perusuh".
.
Sementara pendukung pemerintah, yang menggelar aksi tandingan, menyerukan eksekusi terhadap "musuh" yang telah menyulut kekacauan. Mereka juga menuding pengunjuk rasa sebagai "tentara Israel" dan "penista agama"

"Pelanggar Al-Qur'an harus dieksekusi!" teriak mereka.

Namun, sekeras apapun tindakan aparat, kemarahan rakyat sepertinya tidak mampu terbendung lagi. 

Ali Vaez, analis dari International Crisis Group, melihat aksi demontrasi kali ini sebagai langkah yang besar.

"Ini adalah momen yang tak pernah terbayangkan pada 10 hingga 20 tahun yang lalu," kata Vaez, yang lahir dan besar di Iran.

"Iran saat ini adalah masyarakat yang tak lagi mampu dikontrol oleh rezim Republik Islam. Dengan represi, mungkin mereka dapat mengulur waktu. Namun, mereka tidak akan mampu mengatasi faktor pendorong protes kali ini"