Tragedi Kanjuruhan: Mengapa Suporter Indonesia Gemar Kekerasan?

 

Kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang yang menewaskan 131 orang | Detik.com, CNN Indonesia

Sebenarnya, kerusuhan bukan sesuatu yang asing di dunia sepak bola Indonesia.

Kekerasan yang dilakukan suporter bisa dibilang telah menjadi pemandangan rutin dalam pertandingan sepak bola tanah air. Dan ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun.

Masih segar dalam ingatan, ketika seorang suporter Persija Jakarta bernama Haringga Sirla tewas setelah dianiaya oleh pendukung Persib Bandung, yang dikenal dengan julukan Bobotoh pada tahun 2018. Motifnya pun sepele. Ia dikeroyok karena mengenakan atribut The Jak, julukan untuk pendukung Persija Jakarta. Rivalitas kedua klub memang dikenal keras, bahkan hingga di luar lapangan.

Yang terbaru, suporter Persebaya Surabaya merangsek ke lapangan setelah tim kesayangan mereka dipermalukan oleh Rans Nusantara FC di Stadion Delta Sidoarjo, Kamis 15 September 2022. Persebaya merupakan tim yang kerap menjadi juara liga, sehingga berada di jajaran elit. Makanya, banyak suporter yang merasa gengsi ketika mereka dikalahkan RANS Nusantara FC, tim yang baru saja merumput di Liga 1.

Namun, semua itu tidak ada apa-apanya dengan insiden yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur pada Sabtu (1/10/2022) malam. Ribuan suporter Arema FC merangsek ke lapangan untuk menyerang (ada yang bilang hanya sekedar mendekati) para pemain pasca kekalahan tim mereka.

Akibatnya, sebanyak 131 orang tewas setelah terinjak-injak atau mengalami kekerasan dalam kerusuhan. Tragedi Kanjuruhan pun menjadi insiden mematikan terbesar kedua dalam pertandingan sepak bola di dunia.

Tragedi ini juga membuktikan bahwa kita tidak pernah belajar, atau mungkin tidak serius berbenah, meskipun sudah banyak korban tewas sia-sia. Terutama soal kultur kekerasan dan rivalitas tidak sehat, yang seolah menjadi budaya di kalangan suporter sepak bola di Indonesia.

Fanatisme Buta

Fanatisme suporter klub sepakbola Indonesia dalam mendukung tim mereka | Fandom.id

Tindakan suporter klub sepak bola di Indonesia yang nekat berbuat anarkis jelas merupakan fanatisme terhadap tim kesayangan mereka. Padahal, sepak bola hanyalah pertandingan olahraga. Menang-kalah itu hal biasa. Kenapa harus emosi hingga tega merenggut nyawa orang lain?

Zein Pramana, seorang pakar psikologis, memiliki jawabannya. Menurutnya, fanatisme seseorang lahir dari kekaguman terhadap suatu hal, termasuk sosok idola. Selanjutnya, mereka mencari tahu seluk beluk idola mereka, hingga timbul kecintaan dan rasa ikut memiliki. 

"Semakin mencari tahu, maka seolah-olah mereka adalah bagian dari diri kita juga. Karena mereka kemudian bagian dari kita. Mendukung mereka dengan sekuat tenaga menjadi keharusan," terang Zein.

Dalam sepak bola, kecintaan itu ditunjukkan dengan membeli dan mengenakan atribut kebesaran tim kesayangan. Harga diri tim mulai dianggap sebagai harga diri sendiri. Ketika tim mereka diejek atau dipermalukan, misalnya kalah dalam pertandingan, suporter merasa harga diri mereka ikut diinjak-injak.

Orang yang fanatik, bila dilihat dari kacamata psikologis, tidak memiliki kemampuan untuk memahami apa yang ada di luar dirinya, serta masalah orang atau kelompok lain. Dunia seolah berputar di sekitar dirinya. Makanya, orang fanatik tidak punya empati dan cenderung keji terhadap pihak yang tidak sepaham dengannya.

Namun, kecintaan yang berlebihan bukan faktor utama kelahiran fanatisme.

Pelampiasan Masalah Sosial

Fanatisme dan kekerasan juga lahir dari masalah sosial | The Jakarta Post

Akhir-akhir ini, kita bisa melihat terjadinya radikalisasi di kalangan masyarakat. Terutama menyangkut suku, ras, dan antargolongan (SARA). Pemilu 2019 dan kasus penistaan agama Ahok adalah bukti polarisasi publik akibat isu SARA. Perilaku intimidatif (kadang disertai kekerasan) terhadap kelompok yang berbeda latar belakang dan ideologi merasuk ke sendi kehidupan bangsa.

Sejumlah ahli dan pengamat mencoba memahami fenomena menyedihkan ini. Menurut Hariyati dan Septiana dalam Radikalisme dalam Perspektif Analisis Wacana Kritis (2019), radikalisme dan fanatisme tidak hanya lahir dari rasa cinta berlebihan. Melainkan juga faktor eksternal, yaitu masalah sosial.

Di lingkungan dengan kehidupan sulit, baik secara ekonomi maupun politik, kekerasan adalah salah satu cara untuk melampiaskan kondisi yang serba kekurangan. Orang yang mengalami kesulitan hidup juga rentan untuk diprovokasi, diadu domba, atau dipengaruhi pemikiran radikal.

Isu SARA dan sepak bola jelas dua hal yang berbeda. Namun, dalam hal fanatisme, mereka memiliki banyak kesamaan. Suporter fanatik yang kerap melakukan kekerasan berasal dari kalangan ekonomi sulit dan tingkat pendidikan yang rendah. Dengan mendukung tim sepak bola, mereka meraih rasa bangga yang tidak dimiliki dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika tim kesayangan kalah, perasaan bangga itu hilang, berganti dengan kekecewaan mendalam. Mereka seolah terlempar kembali ke realitas hidup yang penuh tekanan dan rasa rendah diri. Kekerasan pun dianggap sebagai cara ampuh untuk mengembalikan kebanggan tersebut.



.





Banner iklan disini