Dr. Soeharto: Bukan Presiden, Dokter Hebat di Istana Negara

 

Dr. H.R Soeharto mendapatkan gelar pahlawan nasional pada 10 November 2022 | Antara

Penetapan pahlawan nasional pada 10 November 2022 ini cukup berbeda dari biasanya.

Sebuah akun Facebook bernama Mada Ppm Dki Resimen IX membuat postingan berjudul "Presiden Jokowi Memberikan Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional Kepada Alm Jenderal TNI Soeharto".

Unggahan tersebut memberi narasi bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, Presiden ke-2 RI. 

Informasi itu memicu kehebohan publik. Hingga saat ini, Soeharto masih dipandang sebagai sosok kontroversial. Pemerintahannya selama 32 tahun berhasil membawa Indonesia jadi kekuatan ekonomi Asia, namun diwarnai korupsi masif, politik kroni, pembungkaman hingga pembunuhan lawan politik.

Penetapannya sebagai pahlawan nasional tentu memancing reaksi keras sebagian masyarakat, terutama orang-orang yang menjadi korban kebijakan rezim Orde Baru.

Namun, mereka kini bisa bernapas lega setelah pemerintah memberikan konfirmasi. Ternyata, peraih gelar pahlawan nasional tahun ini adalah Dr. H.R Soeharto, seorang dokter yang pernah bertugas di Istana Negara tahun 1950-1966.

Apa saja sumbangsih dr H.R Soeharto terhadap bangsa, sehingga dianugerahi gelar pahlawan nasional?

Pejuang Kemerdekaan 

Jong Java, wadah Dr. Soeharto dalam memperjuangkan kemerdekaan | Merdeka.com

Dr Haji Raden Soeharto lahir di Tegalondo, Klaten pada 24 Desember 1908. Ia merupakan putra dari pasangan Raden Sastrosuyoso dan Hermina. 

Sebagai keturunan bangsawan, ia mendapatkan pendidikan yang lebih baik dibandingkan orang Indonesia ketika itu. Ia mulai bersekolah di Europese Lagere School (ELS) II Solo. Naik kelas 4, Soeharto pindah ke ELS Madiun dan mondok pada sebuah keluarga di Madiun.

Soeharto juga dikenal sebagai siswa yang cerdas. Ia mendapatkan dua beasiswa dari pemerintah Belanda dan Tjandi Stichting, sehingga dapat belajar ilmu kedokteran di Geneeskundige Hoogeschool (GHS) di Batavia, yang kini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI).

Selama menempuh pendidikan, Soeharto aktif mengikuti organisasi pro-kemerdekaan. Ketika bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Madiun, ia menjadi anggota Jong Java dan Jong Islamieten Bond, yang ikut andil dalam Sumpah Pemuda 1928.

Ketika berkuliah di GHS, Soeharto mondok di Indonesie Club (IC), yang kini menjadi Gedung Sumpah Pemuda. Disana, ia berkenalan dengan tokoh intelektual pro-kemerdekaan. Seperti Adnan Kapau Gani, Abu Hanifah, Mohammad Yamin, hingga Amir Sjarifuddin.

Dokter Kepresidenan

Dr. Soeharto (kiri) saat makan malam dengan Presiden Soekarno | Perpusnas

Soeharto resmi menjadi dokter setelah lulus ujian Semi Arts (sarjana dokter), dan meraih gelar Drs. Med pada 25 Mei 1935. Karirnya bermula dari magang di poliklinik umum dan rumah bersalin di Pasar Senen, yang dipimpin oleh Dr. Tumbelaka. 

Meski telah bekerja, hasratnya untuk belajar tidak padam. Pada 14 April 1937, dr. Soeharto berhasil menyabet titel Doctor Medicinae Doctorem (DR atau MD), setara dengan S3 Kedokteran saat ini.

Dengan modal tersebut, ia membuka praktik dokter keluarga dan klinik bersalin di rumahnya, di Jl. Kramat Raya No. 128.

Profesinya di bidang medis juga melahirkan persahabatan dengan Presiden Soekarno, yang ketika itu merupakan salah satu pemimpin kemerdekaan.

Pada tahun 1942, Bung Karno tiba-tiba datang berobat ke klinik Dr. Soeharto. Ia mengeluh sudah berapa hari merasakan nyeri pada pinggang dan mual. Pertemuan tersebut membuat Dr. Soeharto dekat dengan Bung Karno.

Bahkan, ia juga mendapatkan kesempatan untuk berkenalan dengan Bung Hatta. 

Melalui relasi dengan tokoh-tokoh besar perjuangan, karir dr Soeharto ikut terangkat.

Atas rekomendasi Bung Hatta, ia mendapatkan tugas pelayanan medis bagi peserta latihan pegawai negeri eselon satu hingga tiga se-Jawa, dan mengelola poliklinik untuk pengemudi becak Jakarta.

Dr. Soeharto lalu diangkat sebagai Kepala Bagian Kesehatan Kantor Besar PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) selama masa pendudukan Jepang. Ia bertanggung jawab menyebarkan poster tentang kebersihan, pembuatan sabun dengan minyak kelapa, dan pembakaran batang mangrove.

Setelah proklamasi kemerdekaan, Dr. Soeharto mengemban beberapa jabatan penting negara. Pada 29 Agustus 1945, ia dilantik sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). 

Dua bulan kemudian, pada Oktober 1945, ia menjadi salah satu pendiri Yayasan Pusat Bank Indonesia yang diketuai Bung Hatta. Yayasan ini menjadi cikal bakal kelahiran BNI 46.

Hingga akhirnya, Dr. Soeharto diangkat sebagai dokter kepresidenan pada tahun 1950.

Selama bertugas di Istana Negara, ia selalu menemani Bung Karno. Mulai dari pelosok Indonesia hingga penjuru dunia. Beliau sangat memperhatikan kondisi kesehatan presiden RI pertama itu.

Pada akhir 1950-an, Bung Karno mulai menderita masalah ginjal akibat terlalu gila kerja. Dr. Soeharto pun menyarankan agar Bung Karno melakukan pemeriksaan intensif. Saran tersebut disetujui oleh sang presiden. Pemeriksaan dilakukan di Wina, Austria oleh Dr. Fellinger dari Universitas Kedokteran Wina.

Hasilnya, kondisi ginjal kiri Bung Karno sudah tidak berfungsi. Dr. Fellinger menyarankan agar ginjal kiri tersebut disingkirkan supaya tidak merembet ke organ tubuh lain. Namun, Bung Karno menolak, karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.

"Nanti saja jika Irian Barat telah kita bebaskan," jawab Bung Karno kepada Dr. Soeharto.

Selama menjadi dokter kepresidenan, Dr. Soeharto aktif dalam program meningkatkan layanan kesehatan di masyarakat

Pada tahun 1953-1954, ia menjadi arsitek berdirinya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yang menjadi wadah bagi dokter, tabib tradisional, dan tenaga medis lain di seluruh Indonesia. Kata "ikatan" merupakan usulan dari Dr. Soeharto sendiri, agar IDI menjunjung tinggi asas kekeluargaan.

Namun, perubahan lanskap politik mempengaruhi karir Dr. Soeharto. Pada tahun 1966, ia dibebastugaskan sebagai dokter kepresidenan seiring meredupnya kekuasaan Bung Karno. 

Ketidakhadiran Dr. Soeharto juga menjadi salah satu faktor memburuknya kesehatan Bung Karno dengan cepat. Sejumlah sejarawan menuding rezim Orde Baru "sengaja" membiarkan Bung Karno sakit tanpa pengobatan layak, hingga akhirnya wafat pada 21 Juni 1970.

Setelah berhenti jadi dokter kepresidenan, Dr. Soeharto kembali melanjutkan praktek hingga tahun 1978. Aktivitasnya di hari tua banyak dihabiskan sebagai anggota PB IDI, membina Kelompok Studi Dokter Keluarga, dan penasihat OISCA (Organization of Industrial, Social, Cultural Advancement)

Dr. Soeharto meninggal dunia pada 30 November 2000, di usia 91 tahun. Meninggalkan segudang warisan yang begitu berharga bagi kita. Gelar pahlawan nasional adalah salah satu cara bangsa ini berterima kasih kepada beliau.





Banner iklan disini