|
Soekarno dan para tokoh perjuangan lain sedang berdiskusi di Rengasdengklok | Kompas.com |
Pasca serangan bom atom Hiroshima dan Nagasaki, Jepang mengumumkan penyerahan diri tanpa syarat kepada pihak sekutu.
Pada tanggal 10 Agustus 1945, berita ini
sampai ke telinga Sutan Syahrir, salah satu tokoh pergerakan penting, melalui siaran radio asing yang ilegal ketika itu.
Syahrir pun membagikan kabar tersebut kepada Chairil Anwar, dan memintanya agar diteruskan kepada para simpatisan pro kemerdekaan, khususnya dari kalangan pemuda.
Informasi ini dilihat sebagai kesempatan emas untuk meraih kemerdekaan. Sebab, dengan kekalahan Jepang, maka terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia.
Selain itu, Jepang sebagai pihak yang kalah perang juga wajib mengembalikan Indonesia kepada Belanda. Proses penyerahan itu kemungkinan akan dilakukan dalam waktu dekat.
Oleh karena itu, para pemuda segera membujuk Soekarno, selaku ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), untuk segera mengumumkan proklamasi secepat mungkin.
Namun, Soekarno menolak usulan tersebut. Menurutnya, proklamasi kemerdekaan adalah sesuatu yang besar, sehingga harus dibicarakan terlebih dahulu dalam sidang PPKI.
Masalahnya, waktu mereka tidak banyak. Sebagai pihak yang kalah perang, Jepang wajib memulihkan seluruh tanah jajahan mereka seperti sediakala. Artinya, cepat atau lambat, Indonesia akan dikembalikan kepada Belanda.
Akhirnya, para pemuda terus berusaha memperjuangkan tuntutan mereka, kali ini dengan cara yang lebih kasar.
Pada tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno, Mohammad Hatta, serta pemimpin pergerakan lain dijemput paksa oleh para pemuda, lalu dibawa menuju Rengasdengklok. Sebuah kota yang terletak 74 kilometer sebelah timur Jakarta.
Sebelum berangkat ke Rengasdengklok, sempat ada keributan antara Soekarno dan golongan muda. Bahkan, Soekarno sempat
menyuruh para pemuda agar "membunuh dirinya", sebab ia tak bisa melanggar tanggung jawab sebagai Ketua PPKI.
"Inilah leherku, saudara boleh membunuh saya sekarang juga. Saya tidak bisa melepas tanggung jawab saya sebagai Ketua PPKI. Karena itu, saya akan tanyakan kepada wakil-wakil PPKI besok"
Namun setelah berada di Rengasdengklok, Soekarno dan Hatta akhirnya luluh juga. Mereka berjanji akan segera memproklamasikan kemerdekaan begitu kembali ke Jakarta.
2. Soekarno sakit malaria di hari proklamasi
|
Soekarno (kanan) dan Mohammad Hatta dalam pertemuan sebelum proklamasi | Tribun Manado |
Rombongan Soekarno dan Hatta tiba di Jakarta dari Rengasdengklok pada 17 Agustus 1945 dini hari. Saat itu juga, mereka merumuskan naskah proklamasi di rumah Laksamana Tadashi Maeda, salah satu petinggi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang.
Setelah naskah bersejarah itu rampung, Soekarno pulang ke rumah untuk beristirahat sebentar. Namun hingga pukul 08:00 pagi, ia belum juga bangun dari tempat tidur. Ia merasa tak enak badan, sementara suhu tubuhnya meningkat drastis.
Setelah dicek oleh Dr. Soeharto, dokter pribadi kesayangannya, rupanya Bung Karno
mengalami gejala malaria. Penyakit yang pernah menyerangnya saat ia dibuang ke Ende, Nusa Tenggara Timur.
Saat itu, malaria tergolong penyakit mematikan yang sulit diobati. Sehingga bisa mengancam nyawa kapan saja.
Namun, Soekarno tidak menyerah. Dalam kondisi sakit, ia tetap menunaikan tugasnya untuk menyiarkan proklamasi, yang menjadi tonggak berdirinya negara Indonesia.
3. Teks proklamasi dibuat dengan mesin ketik perwira Nazi
|
Diorama yang menggambarkan Sayuti Melik (kanan) saat mengetik teks proklamasi | M.Y Thamrin |
Pada 17 Agustus 1945 pukul 03:00 pagi, Soekarno, Hatta, dan tokoh perjuangan lain menyusun naskah proklamasi di ruang makan rumah Laksamana Maeda.
Hanya dalam waktu dua jam saja, naskah itu berhasil dirampungkan.
Akan tetapi, saat ingin dituangkan ke dalam ketikan, rumah Laksamana Maeda hanya memiliki mesin ketik huruf Jepang, bukan latin.
Akhirnya, Satsuki Mishima selaku pembantu Maeda diperintahkan untuk mencari mesin ketik huruf latin.
Ia pun langsung pergi ke kantor militer Jerman, dan bertemu Mayor Hermann Kandelar, seorang perwira Angkatan Laut Nazi Jerman yang bertugas di Jakarta.
Mesin ketik itu akhirnya digunakan oleh Sayuti Melik untuk mengetik naskah otentik proklamasi, yang dibacakan oleh Soekarno untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Social Plugin