![]() |
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden (kiri) dan Perdana Menteri (PM) Australia, Scott Morrison | ABC, CNN |
Meningkatnya pengaruh Cina di kawasan Asia Pasifik membuat Amerika Serikat (AS) dan negara-negara barat lain semakin cemas.
Beberapa tahun terakhir, Negeri Tirai Bambu tersebut telah melakukan sejumlah manuver yang diduga bertujuan untuk menguasai wilayah di sekitarnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Cina diketahui telah bersengketa wilayah dengan sejumlah negara tetangga. Seperti sengketa Laut Cina Selatan dengan Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia, hingga rebutan pulau Senkaku/Diaoyu dengan Jepang.
Hal ini tentu tidak disukai oleh dunia internasional, khususnya negara barat yang merasa perilaku Cina dapat merusak perdamaian.
Berbagai cara telah mereka tempuh untuk meredam perkembangan ini. Mulai dari pemberlakuan kenaikan tarif untuk produk Cina, hingga aneka macam sanksi.
Namun, Beijing tetap tidak terkalahkan. Meski negara komunis, Cina menerapkan sistem ekonomi kapitalisme dibawah nama "Sosialisme Berkarakter Cina". Sistem tersebut menjadikan mereka kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia.
Kemajuan ekonomi juga berdampak pada sektor pertahanan. Selama sepuluh tahun terakhir, anggaran militer Cina telah meningkat dari 137 miliar dolar AS (Rp 1.952 triliun) hingga 196 miliar dolar AS (Rp 2.794 triliun).
Jumlah ini jauh melampaui anggaran militer negara tetangganya pada tahun 2020. Seperti Vietnam (6 miliar dolar AS/ Rp 85 triliun), Filipina (3.4 miliar dolar AS/ Rp 49 triliun), dan Malaysia (3 miliar dolar AS/ Rp 42 triliun).
Melihat situasi yang semakin mengkhawatirkan, AS dan negara barat sepakat untuk bekerja sama dengan negara tetangga yang berseteru dengan Cina.
Ketika dilantik Januari 2021 lalu, Presiden AS Joe Biden berjanji akan membangun "sekutu super" untuk menghadang Beijing.
Pada 15 September 2021, AS, bersama dengan Australia dan Inggris, mengumumkan pembentukan aliansi militer diantara tiga negara. Aliansi ini dikenal dengan nama AUKUS, yang merupakan singkatan dari Australia, United Kingdom (Inggris), dan United States (AS).
![]() |
Presiden AS Joe Biden berbicara secara online dengan PM Inggris dan Australia dalam peresmian aliansi AUKUS | White House |
Dalam perjanjian tersebut, Australia sebagai negara yang dekat dengan Cina, mendapat dukungan teknologi dari AS. Seperti kecerdasan buatan (AI), hingga kapal selam nuklir.
Seperti yang telah diperkirakan, Beijing pun marah besar. Kedutaan Besar (Kedubes) Cina di Washington mengatakan, perjanjian AUKUS menandakan bahwa AS masih memiliki mentalitas Perang Dingin dan prasangka ideologis.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Zhao Lijian menyebut AUKUS akan merusak stabilitas kawasan, dan menimbulkan perlombaan senjata.
Akan tetapi, secara mengejutkan, pembentukan AUKUS juga memicu reaksi keras dari negara tetangga Australia.
Indonesia dan Selandia Baru mengecam keputusan Australia yang menerima kapal selam nuklir dari AS. Selandia Baru bahkan melarang kapal selam tersebut masuk ke perairan mereka, untuk mencegah hal yang tidak diinginkan.
Sebagai negara yang terletak di seberang utara Australia, Indonesia disinyalir akan terdampak langsung dari aliansi AUKUS dan kapal selam nuklir.
Terjebak di Pusaran Konflik
![]() |
Penandatangan MoU antara Indonesia (kanan) dan Australia pada 9 September 2021 | Gatra |
Khairul Fahmi, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) mengatakan, kehadiran kapal selam nuklir Australia akan mengubah kebijakan pertahanan Indonesia secara dramatis.
Social Plugin