Dulu Indonesia, Sekarang Filipina Rebutan Kalimantan Utara dengan Malaysia

 

Tentara Malaysia meletuskan tembakan untuk melawan milisi Sulu Filipina yang menyerang Sabah, Malaysia pada 2013 | Reuters

Pada tahun 2013, sebanyak 235 milisi bersenjata menyerbu Sabah, negara bagian Malaysia yang terletak di Kalimantan Utara.

Ratusan milisi tersebut menyatakan diri sebagai pengikut Sultan Jamalul Kiram III, pemimpin Kesultanan Sulu di Filipina Selatan.

Mereka datang dengan menggunakan kapal dari Pulau Simunul, Provinsi Tawi-Tawi, Filipina. 

Setelah mendarat, para milisi langsung membangun basis di Kampung Tanduo, sekitar 37 kilometer dari Lahad Datu, Sabah. 

Kedatangan mereka membuat warga kampung kabur dari rumah. Sebanyak 80 orang mengungsi ke Kampung Tanjung Labian, yang terletak 40 km dari Tanduo.

Sementara penduduk lainnya harus mengalami kelangkaan susu, beras, garam, dan bahan pokok lain dalam pengungsian.

Dari Tanduo, pemimpin milisi Agbimuddin Kiram menuntut agar Malaysia "mengembalikan" wilayah Sabah kepada Kesultanan Sulu.

Agbimuddin (terkadang disebut Azzimuddie atau Azzumudie) merupakan adik dari Sultan Jamalul Kiram III. Ia menyandang gelar sebagai Rajah Muda atau putera mahkota Sulu.

Jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi, Agbimuddin mengancam akan melancarkan serangan bersenjata bersama pasukannya.

Pemerintah Malaysia pun tidak tinggal diam. Mereka langsung mengerahkan militer menuju Lahad Datu. 

Agbimuddin Kiram (panah merah) dan milisi yang ia pimpin | Philstar

Awalnya, pemerintah Malaysia menawarkan kepada Agbimuddin dan pasukannya agar menyerah. Sebagai gantinya, mereka dapat kembali ke Filipina dengan selamat.

Namun, tawaran ini ditolak mentah-mentah oleh para milisi Sulu. Mereka terus bertahan dan meminta agar diakui sebagai "Tentara Kesultanan Sulu"

Alhasil, Malaysia langsung meluncurkan serangan dengan nama "Operasi Daulat". 

Akses keluar masuk Tanduo diblokir. Kendaraan lapis baja dan jet-jet tempur dikerahkan untuk menumpas pemberontakan.

Pada 1 Maret 2013, pertempuran antara Malaysia dan milisi Sulu semakin membesar. Sebanyak dua aparat keamanan dan 12 milisi tewas.

Hari-hari berikutnya, konflik semakin tidak menguntungkan bagi milisi Sulu. Korban dari pihak mereka terus berjatuhan, diperparah oleh kekuatan yang tidak seimbang.

5 Maret 2013, wilayah pantai timur Sabah berhasil direbut sepenuhnya oleh pemerintah Malaysia. Namun, milisi yang tersisa tetap memberikan perlawanan dari tempat-tempat terpencil.

Sepuluh hari kemudian, Agbimuddin dikabarkan melarikan diri ke Filipina, meninggalkan pengikutnya berjuang sendiri di Sabah.

Otomatis, perlawanan milisi Sulu terhadap Malaysia pun berakhir. Sebanyak 85 orang yang terkait dengan para milisi ditangkap, serta diseret ke pengadilan.

Koran Malaysia mengejek Agbimuddin yang melarikan diri | Sinar Harian

Delapan tahun pasca insiden tersebut, isu mengenai Sabah terus berlanjut. Kali ini, pihak yang terlibat bukan lagi Sulu, namun Filipina dan Malaysia.

Rahasia Bocor

Menurut sebuah sumber keamanan regional, sebanyak 19 walikota terpilih di Kepulauan Sulu, Filipina telah mengadakan rapat rahasia pada 1 Desember 2021 lalu.

Mereka membahas rencana mengirim 600 pasukan "Tentara Kesultanan Sulu" untuk menginvasi kembali Sabah.

Aksi tersebut akan dilaksanakan pada Februari 2022 mendatang. Entah kenapa mereka memilih bulan yang sama seperti dulu. 

Rapat itu, lanjut sang sumber, diselenggarakan oleh salah satu pejabat penting di Filipina Selatan.

Suasana sehari-hari di Jolo, ibukota Sulu | Mark Cayabyab

"Potensi kesuksesan rencana penyerangan Sabah bergantung pada banyaknya dukungan dan pendanaan yang bisa didapat dari sejumlah partai politik," terangnya

"Banyak pemangku kepentingan di Filipina yang berniat memanfaatkan isu ini untuk kepentingan politik dan strategis mereka"

Berdasarkan laporan, 11 dari 19 walikota yang hadir dalam rapat rahasia menyetujui rencana tersebut, sementara lainnya tidak menolak maupun setuju.

"Setiap walikota diharapkan merekrut 50 orang yang berani dan berkemampuan tinggi dalam pertempuran"

"Biaya amunisi dan logistik lainnya akan ditanggung oleh pejabat tinggi, yang juga berjanji akan menyumbang 500.000 peso (Rp 142 juta) untuk pengadaan 100 speed boat dalam rencana ini"

Tidak hanya itu, pejabat-pejabat ini juga memasok sekitar 500 senjata ke perwakilan lokal Sulu, yang selanjutnya menyerahkannya ke para milisi.

Laporan yang dipublikasikan oleh South China Morning Post (SCMP) itu sontak mengejutkan dunia. Filipina pun buru-buru membantahnya.

"Itu berita bohong. Tidak benar," kata Delfin Lorenzana, Menteri Pertahanan Filipina.

Letnan Jerrica Manongdo, juru bicara Pasukan Gabungan Sulu, membenarkan bahwa memang ada pertemuan antara para pejabat Filipina Selatan.

"Tapi, ini tidak ada kaitannya dengan Sabah atau Malaysia sama sekali," kata Manongdo.

Senada dengan Filipina, Malaysia juga menyatakan tidak menemukan bukti adanya rencana untuk menyerang Sabah. 

Namun, mereka tetap meningkatkan kewaspadaan, dan keamanan di kawasan tersebut semakin diperketat.

"Saya telah memerintahkan pemimpin dari tiga cabang Angkatan Bersenjata Malaysia, yakni angkatan darat, laut, dan udara, untuk meningkatkan kesiagaan mereka ke tingkat tertinggi, terutama di pantai timur Sabah," tegas Menteri Pertahanan Malaysia, Hishammuddin Hussein.

Meski kedua negara terlihat damai-damai saja, Sabah telah menjadi bahan rebutan dari Filipina dan Malaysia selama puluhan tahun.

Gara-Gara Inggris

Peta Sabah (merah) ketika masih dibawah jajahan Inggris | Library of Congress

Terjadinya kisruh di Sabah tidak lepas dari "tangan usil" negara yang pernah jadi penjajah terbesar sepanjang sejarah, yaitu Inggris.

Pada mulanya, Sabah merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei sejak awal 1500.

Namun, setelah 158 tahun, Brunei menyerahkan Sabah kepada Kesultanan Sulu, sebagai hadiah karena telah membantu memadamkan pergolakan di dalam negeri.

Keputusan itu disahkan oleh Sultan Brunei Abdul Hakkul Mubin kepada Sultan Sulu Salah-ud-Din Karamat Bakhtiar.

Selama beberapa abad, Sulu tetap mendominasi Sabah secara politik maupun ekonomi. 

Akan tetapi, pengalaman mempertahankan wilayah dalam waktu lama tidak membuat Sulu perkasa melawan kekuatan barat.

Kolonisasi Inggris mulai menancapkan kuku di Kalimantan Utara pada tahun 1846, melalui aneksasi Pulau Labuan dari Brunei.

Sejak saat itu, pengaruh Inggris berkembang pesat di kawasan tersebut. Namun, kekuasaan atas Sabah mereka dapatkan dengan cara yang cukup unik.

Pada tahun 1878, perusahaan milik pengusaha Inggris Alfred Dent berhasil mendapatkan konsesi atas wilayah Sabah dari Kesultanan Sulu.

Melalui perjanjian yang ditandatangani pada 22 Januari 1878, Kesultanan Sulu akan menyewakan Sabah kepada Inggris dengan biaya sewa 5.000 keping emas Meksiko per tahun. 

Lambat laun, status Sabah berubah menjadi koloni yang diperintah langsung oleh Inggris, melalui pemerintahan British North Borneo.

Meski demikian, Inggris tetap membayar kewajiban mereka hingga tahun 1963, ketika Sabah bergabung dengan Malaysia.

Sebagai pewaris kekuasaan Sabah, Malaysia melanjutkan pembayaran kepada Sulu, yang kini telah menjadi bagian dari Filipina.

Setiap tahun, Malaysia memberikan cek sebesar 77.000 peso Filipina (Rp 21,8 juta) kepada keluarga Kesultanan Sulu.

Namun, Malaysia tidak menganggap itu sebagai uang sewa, melainkan "pembayaran tahunan untuk wilayah yang disengketakan"

Ketika pihak Sulu meminta kenaikan harga sewa, Malaysia pun menolak mentah-mentah. 

Karena tidak lagi memiliki kekuatan seperti dulu, keluarga sultan Sulu meminta bantuan pemerintah Filipina.

Perseteruan Lama

Sejak awal, Filipina dan Indonesia tidak suka dengan pembentukan Malaysia, yang menggabungkan Malaya dengan Kalimantan Utara (Sabah dan Serawak).

Pada 31 Juli 1963, Indonesia, Filipina, dan Malaya menandatangani perjanjian Manila Accord

Isinya, meminta agar rakyat Kalimantan Utara diberikan hak untuk menentukan nasib, apakah merdeka atau bergabung dengan Malaya, melalui referendum.

Perangko Filipina yang mengenang Manila Accord | HipStamp

Namun, sebelum referendum digelar, Malaya malah memasukkan Kalimantan Utara ke dalam Malaysia pada 16 September 1963. 

Hal ini memicu kemarahan Indonesia dan Filipina. 

Indonesia langsung melakukan konfrontasi dengan mengerahkan militer ke Kalimantan Utara. Sementara Filipina bereaksi keras dengan melontarkan berbagai kecaman.

Konflik Filipina dengan Malaysia berlangsung selama hampir tiga tahun.

Dalam pernyataan bersama pada 3 Juni 1966, Filipina dan Malaysia sepakat untuk mematuhi Manila Accord, dan menyelesaikan secara damai klaim Filipina atas Sabah melalui Mahkamah Internasional.

Akan tetapi, sengketa tersebut tidak pernah terselesaikan dengan baik. 

Ketika Sulu meminta bantuan pemerintah Filipina untuk menaikkan harga sewa Sabah, perseteruan lama kembali mencuat.

Pada Februari 1999, Putri Denchurain Kiram dari Kesultanan Sulu menulis surat kepada Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad, melalui Presiden Filipina Joseph Estrada.

Dalam surat tersebut, Denchurain meminta agar Malaysia membayar uang sewa lebih tinggi kepada mereka.

Namun, permintaan tersebut tidak digubris. Beberapa tahun kemudian, Sulu kembali mengirimkan surat ke Malaysia, dan mendapat respon yang sama.

Hal ini terus berlanjut hingga tahun 2013, ketika milisi Sulu menyerang Sabah. 

Dukungan Rakyat dan Alat Politik

Demonstran Filipina melakukan unjuk rasa menuntut Malaysia kembalikan Sabah | Gulf News

Perjuangan Sulu menuntut hak atas Sabah menarik simpati banyak warga Filipina. Mereka melakukan sejumlah unjuk rasa yang meminta Malaysia "kembalikan" Sabah kepada Filipina.

Setali tiga uang, Pemerintah Filipina juga semakin gencar menyatakan bahwa Sabah adalah wilayah mereka.

Ketika baru menjabat, Presiden Filipina Rodrigo Duterte bersumpah akan melanjutkan upaya untuk mengklaim Sabah sebagai wilayah mereka.

Menurut pengamat, keputusan Duterte merupakan bentuk "balas budi" atas besarnya dukungan rakyat Filipina Selatan selama pemilihan presiden.

Terbaru, Walikota Manila Isko Moreno Domagoso mengatakan Filipina akan menempuh jalur hukum mengenai Sabah, seandainya ia memenangkan pemilu presiden 2022.

Namun, tidak semua orang Filipina setuju dengan langkah ini. 

Senator Jovito R. Salonga, politisi dan nasionalis Filipina, menganggap bahwa klaim atas Sabah tidak memiliki dasar historis, hukum, serta moral.

"Ahli waris sultan, termasuk Jamalul Kiram III, tidak memiliki kedaulatan yang absolut," tegas Salonga.

Menurutnya, Malaysia seharusnya berhenti membayar uang sewa kepada keluarga Kiram sejak 1963, ketika rakyat Sabah memilih bergabung dengan Malaysia.

"Jamalul Kiram III, yang menobatkan dirinya sebagai Sultan Sulu, sedang memperjuangkan kepentingan pribadinya. Klaim atas Sabah juga murni isu personal"

"Semua ini tentang uang, biaya sewa, dan kekuatan politik. Aksi-aksi militan yang ia lakukan hanya untuk menekan Malaysia agar membayar uang sewa lebih banyak"

Sebagai catatan, Putri Denchurain Kiram menyatakan akan berhenti mengklaim Sabah, jika Malaysia membayar uang sewa 1 juta dolar AS (Rp 14,2 miliar) per tahun.

Sementara tahun 2008, pemerintah Provinsi Sulu memberi tahu Malaysia agar menaikkan biaya sewa menjadi 500 juta dolar AS (Rp 7 triliun) per tahun.

Francis Escudero, senator Filipina lainnya, juga sependapat.

"Menurut pandangan saya, klaim atas Sabah merupakan isu personal yang melibatkan Sultan Sulu. Ini adalah hak dan klaim pribadi," kata Escudero.

"Dia tidak bisa bilang bahwa Sabah adalah bagian dari Filipina"

Escudero percaya bahwa sultan Sulu harus bertarung sendiri tanpa bergantung pada Manila atau mengobarkan sentimen nasional.

* Jamalul Kiram III meninggal dunia pada 20 Oktober 2013 dalam usia 75 tahun, sekitar 8 bulan pasca serangan milisi Sulu ke Sabah.

** Sejak bergabung ke Filipina, Kesultanan Sulu tidak memiliki pemimpin yang sah. Selain Jamalul Kiram III, ada beberapa orang lain yang mengklaim diri sebagai pewaris takhta Kesultanan Sulu.











































Banner iklan disini