Presiden Joko Widodo menerima PM Singapura Lee Hsien Loong di Bintan, Kepulauan Riau pada Selasa (25/1/2022) | Biro Pers Setpres |
Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong pada Selasa (25/1/2022)
Dalam pertemuan yang berlangsung di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, kedua pemimpin negara membahas sejumlah isu penting.
Selain mengenai pemulihan ekonomi dan pengembangan sumber daya manusia (SDM), salah satu topik yang cukup menarik perhatian adalah batas Flight Information Region (FIR) atau wilayah informasi penerbangan antara Indonesia dan Singapura.
Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, ruang udara di Kepulauan Riau (Kepri), khususnya Natuna berada dibawah kendali Singapura.
Artinya, bila pesawat Indonesia ingin terbang dari Jakarta ke dua wilayah tersebut, maka harus mendapatkan izin dari otoritas Singapura.
Padahal, Kepri dan Natuna merupakan bagian dari kedaulatan Indonesia, secara sah di mata hukum internasional.
Lucu sekali bila kita harus meminta izin ke negara lain untuk terbang ke wilayah sendiri, bukan?
Pertemuan kali ini pun dimanfaatkan pemerintah untuk menegosiasikan kedaulatan ruang udara negara kita, yang selama bertahun-tahun telah diperjuangkan melalui UU No 1/2009
Hasilnya, Indonesia berhasil mengambil alih kendali ruang udara kedua wilayah tersebut, melalui kesepakatan yang ditandatangani oleh Jokowi dan Lee.
Hal ini disambut dengan sukacita oleh masyarakat. Mereka bahagia karena pemerintah sukses merebut hak negara setelah 76 tahun.
Namun, tidak demikian dengan Hikmahanto Juwana. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) tersebut meminta masyarakat tidak senang dulu.
Menurutnya, Indonesia justru menjadi pihak yang lebih dirugikan dalam kesepakatan ini.
Pertama, FIR yang dikelola penuh oleh Indonesia hanya untuk ketinggian lebih dari 37 ribu kaki. Sementara ketinggian 0-37 ribu kaki tetap dikendalikan otoritas penerbangan Singapura.
Padahal, ketinggian dibawah 37 ribu kaki sangat krusial, karena digunakan oleh pesawat mancanegara untuk melakukan pendaratan dan lepas landas di Bandara Internasional Changi, Singapura.
Bila FIR tersebut diserahkan kepada Indonesia, hal ini akan mengancam posisi Bandara Changi sebagai hub penerbangan internasional.
"Singapura ingin tetap menjadikan Bandara Changi sebagai hub untuk berbagai penerbangan ke penjuru dunia. Keselamatan harus dipastikan," ujar Hikmahanto.
Kedua, Singapura juga menjadikan perjanjian FIR satu paket dengan perjanjian pertahanan. Artinya, bila mau ambil FIR, Indonesia harus menyetujui perjanian pertahanan yang ditawarkan mereka.
"Singapura tahu untuk efektif berlakunya perjanjian FIR, maka selain wajib diratifikasi oleh parlemen masing-masing juga harus dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi," kata Hikmahanto.
Lantas, Singapura akan meminta Indonesia untuk meratifikasi dua perjanjian sekaligus di DPR, sebelum ditukarkan dengan dokumen ratifikasi mereka.
Bila cuma satu, Singapura tidak akan memberikan dokumen ratifikasi mereka. Alhasil, perjanjian pun tidak bisa dilaksanakan.
"Ternyata Singapura sangat cerdik dalam menegosiasikan Perjanjian FIR, sehingga para negosiator Indonesia terkecoh," tambahnya.
Salah satu bukti dari penjelasan Hikmahanto adalah perjanjian Defence Cooperation Agreement (DCA), yang diteken bersamaan dengan FIR.
Dalam perjanjian tersebut, Singapura mendapatkan peluang untuk menggelar latihan militer di atas langit Indonesia atas seizin Indonesia.
Social Plugin