Perjanjian DCA: Singapura Boleh Latihan Militer di Langit Indonesia?


Ilustrasi: PM Singapura Lee Hsien Loong, AU Singapura, dan Monas | Straits Times, Detikcom


Meski telah ditandatangani pada akhir Januari 2022 lalu, Perjanjian Defence Cooperation Agreement (DCA) Indonesia-Singapura terus menuai polemik

Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong bertemu di The Sanchaya Resort Bintan, Kepulauan Riau pada Selasa (25/1/2022)

Dalam pertemuan tersebut, ada sejumlah kesepakatan yang berhasil dicapai kedua negara. 

Pertama, Indonesia berhasil mengambil Flight Information Region (FIR) atau kontrol ruang udara Kepulauan Riau (Kepri) dan Natuna, yang dikuasai Singapura sejak tahun 1946.

Ketika itu, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) menilai Indonesia belum mampu mengatur lalu lintas udara di wilayah yang disebut sektor A, B, dan C.

Oleh karena itu, sebagian FIR di wilayah Kepri dan Natuna berada dibawah pengelolaan Singapura.

Selama 75 tahun, pesawat Indonesia harus meminta izin kepada otoritas Singapura bila ingin terbang ke kedua wilayah tersebut.

Padahal, Kepri dan Natuna merupakan bagian dari kedaulatan Indonesia. Aneh bila harus minta izin ke negara lain.

Direbutnya FIR Kepri dan Natuna menjadi prestasi besar bagi Indonesia.

Kedua, Indonesia dan Singapura resmi meneken perjanjian ekstradisi. 

Melalui perjanjian ini, keduanya dapat memberantas tindak kejahatan yang bersifat lintas batas negara. Salah satu yang paling penting adalah korupsi.

Singapura merupakan tempat pelarian utama koruptor asal Indonesia. Nama-nama seperti Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim, yang menjadi buronan kasus BLBI, diketahui bersembunyi disana.

Para koruptor juga melakukan pencucian uang hasil kejahatan di Singapura, melalui pembelian properti, saham, maupun rekening bank setempat.

Dengan perjanjian ekstradisi, Indonesia dapat memulangkan buronan mereka dari Singapura, begitu pula sebaliknya.

Namun, sebagai ganti kedua kesepakatan tersebut, Singapura meminta agar Indonesia menyetujui Perjanjian DCA.

DCA merupakan perjanjian kerjasama pertahanan antara Indonesia dengan Singapura. Perjanjian ini telah dirundingkan sejak tahun 2005, dan pernah disepakati oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2007.

Meski demikian, DCA Singapura-Indonesia tidak pernah diterapkan. Hal ini dikarenakan adanya poin yang sulit dipenuhi oleh Indonesia. 

Yaitu memberikan izin kepada Singapura untuk menggelar latihan militer di wilayah udara Indonesia.

Melanggar Kedaulatan

Para prajurit Singapura melakukan latihan militer di Selandia Baru | China Daily HK

Singapura merupakan negara kota yang terletak di ujung selatan Semenanjung Malaya, dan seberang laut Pulau Batam. Luasnya hanya 728,6 km2, lebih besar sedikit dari DKI Jakarta.

Meskipun meraih predikat negara maju, Singapura tetap memiliki keterbatasan akibat wilayahnya yang sangat kecil. 

Sektor pertahanan mungkin jadi salah satu urusan yang paling memusingkan. Mereka tidak memiliki cukup tempat untuk latihan militer.

Padahal, kekuatan angkatan bersenjata yang mumpuni sangat diperlukan untuk mempertahankan diri, seandainya mendapatkan serangan dari negara tetangga mereka yang jauh lebih besar.

Untuk menyiasatinya, militer Singapura telah bekerja sama dengan sejumlah negara. 

Setiap tahun, Angkatan Darat (AD) Singapura menyewa Waiouru Army Base di Selandia Baru untuk latihan tempur menggunakan tank Primus dan meriam Howitzer kaliber 155 mm, agar mampu menghantam target sejauh 30 kilometer.

Sementara Angkatan Laut (AL) Singapura kerap melakukan latihan bersama Angkatan Laut Cina di Laut Cina Selatan (LCS) 

Luas yang kecil juga membuat ruang udara Singapura sangat sempit. Pasukan udara mereka harus latihan di wilayah negara lain

Angkatan Udara (AU) Singapura tercatat beberapa kali melakukan latihan bersama dengan Indonesia. 

Pada Oktober 2021 misalnya, AU kedua negara melakukan latihan manuver udara (Air Manouvering Exercise) di wilayah Indonesia. Sebanyak 130 personel dan 12 jet tempur F-16 dikerahkan dalam latihan tersebut.

Jika kerap melakukan latihan militer udara bersama, mengapa pemerintah sulit mengizinkan Singapura untuk memakai wilayah udara Indonesia?

Masalahnya dalam satu poin perjanjian DCA, Singapura meminta agar lebih leluasa melakukan latihan militer di langit Indonesia, bahkan dengan negara lain sekalipun.

Poin tersebut telah memicu kemarahan. Masyarakat hingga pejabat ramai-ramai menolak pemberian izin kepada Singapura. 

Selain menginjak-injak kedaulatan bangsa, betapa mengerikan melihat Singapura dan negara lain latihan tempur di atas rumah kita. Apalagi bila negara yang mereka ajak adalah musuh Indonesia.

Jika ada kesalahan, rakyat Indonesia bisa saja menjadi korban.

Pada tahun 2011, pemerintah menghentikan pembicaraan DCA dengan Singapura setelah menerima banyak tekanan.

"Tidak ada lagi pembahasan tentang itu (DCA)," kata Menteri Pertahanan ketika itu, Purnomo Yusgiantoro.

Kini, lebih dari sepuluh tahun kemudian, Indonesia kembali menandatangani DCA sebagai timbal balik atas perjanjian FIR dan Ekstradisi

Rencananya, pemerintah akan segera meratifikasi ketiga perjanjian tersebut. DCA dan Ekstradisi akan diratifikasi dalam bentuk Undang-Undang (UU) melalui DPR. Sementara FIR melalui Peraturan Presiden (Perpres).

"Dalam tata hukum kita perjanjian internasional itu, harus diratifikasi agar punya daya laku," kata Menko Polhukam Mahfud MD

Namun, reaksi publik tidak jauh berbeda. Perjanjian DCA langsung menuai polemik, dan protes mulai bermunculan.

"Memberikan area bagi angkatan bersenjata Singapura berlatih perang, sama saja mendorong militer Negeri Singa semakin maju," kata Khairul Fahmi, Pengamat Militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS).

Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI, Laksamana Muda (Purn) Soleman B. Ponto menegaskan, perjanjian itu sama artinya membiarkan kedaulatan Indonesia digunakan Singapura

"Pemberian izin kepada Singapura untuk latihan perang itu sangat merugikan Indonesia, bagaimana kedaulatan Indonesia digunakan negara asing untuk latihan perang mereka, termasuk negara lain. Bagaimana coba logikanya?" ujar Soleman

Soleman juga menilai latihan militer itu memiliki risiko keamanan. Misalnya jika Singapura menggunakan rudal, bisa saja tidak tepat sasaran dan menghantam salah satu pulau kita

Helikopter AU Singapura menerbangkan bendera nasional mereka di atas kota Singapura | The Straits Times

Sementara itu, sejumlah anggota DPR mengkritik pemerintah karena belum menyerahkan surat permintaan ratifikasi DCA kepada mereka. Padahal, perjanjian ini sangat penting bagi kedaulatan negara.

"Dimana kami ingin bertanya meminta penjelasan? Sampai hari ini pun pemerintah tidak memberikan suratnya kepada DPR," tegas Anggota Komisi I DPR RI Effendi Simbolon.

Menurut Effendi, selain penandatanganan perjanjian yang terbilang mendadak, Menteri Perhubungan dan Menteri Pertahanan yang ia hubungi seperti "tidak mengerti apa-apa".

"Nah ini di awal Januari kita tiba-tiba dihadapkan pada cerita kok ada penandatanganan di Bintan, yang kita tahu biasanya leading sector-nya Kemlu, tapi ini kok Menteri Perhubungan, Menteri Pertahanan yang saya tanya juga gak dalam juga ngerti juga," tuturnya.

FIR juga Bermasalah

Changi merupakan salah satu bandara tersibuk di dunia, yang menghubungkan penerbangan dari mancanegara | Meredith

Selain itu, perjanjian kendali ruang udara atau FIR Kepri dan Natuna yang diteken Indonesia juga punya masalah.

Pertama, FIR yang dikelola penuh oleh Indonesia hanya untuk ketinggian lebih dari 37 ribu kaki. Sementara ketinggian 0-37 ribu kaki tetap dikendalikan otoritas penerbangan Singapura.

Padahal, ketinggian dibawah 37 ribu kaki sangat krusial, karena digunakan oleh pesawat mancanegara untuk melakukan pendaratan dan lepas landas di Bandara Internasional Changi, Singapura.

Bila FIR tersebut diserahkan kepada Indonesia, hal ini akan mengancam posisi Bandara Changi sebagai hub penerbangan internasional.

"Singapura ingin tetap menjadikan Bandara Changi sebagai hub untuk berbagai penerbangan ke penjuru dunia. Keselamatan harus dipastikan," ujar Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI).

Menurutnya, Indonesia justru menjadi pihak yang lebih dirugikan dalam kesepakatan ini.

Pasalnya, Singapura juga menjadikan perjanjian FIR satu paket dengan perjanjian DCA. Artinya, bila mau ambil FIR, Indonesia harus menyetujui perjanian DCA yang mereka tawarkan.

"Singapura tahu untuk efektif berlakunya perjanjian FIR, maka selain wajib diratifikasi oleh parlemen masing-masing juga harus dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi," kata Hikmahanto.

Lantas, Singapura akan meminta Indonesia untuk meratifikasi dua perjanjian sekaligus di DPR, sebelum ditukarkan dengan dokumen ratifikasi mereka. 

Bila cuma satu, Singapura tidak akan memberikan dokumen ratifikasi mereka. Alhasil, perjanjian pun tidak bisa dilaksanakan.

"Ternyata Singapura sangat cerdik dalam menegosiasikan Perjanjian FIR, sehingga para negosiator Indonesia terkecoh," tambahnya.







Banner iklan disini