Sebagai Pemimpin G20, Indonesia Bisa Hentikan Perang Rusia-Ukraina?

 

Dari kiri ke kanan: Zelensky, Jokowi, dan Putin | Detik.com, New York Times, Aljazeera

Rusia melancarkan invasi ke wilayah Ukraina pada Kamis (24/2/2022) waktu setempat, setelah ketegangan kedua negara memanas.

Selama beberapa bulan terakhir, Presiden Rusia Vladimir Putin membantah akan menyerang negara tetangganya tersebut.

Namun, jumlah pasukan Rusia yang dikerahkan di perbatasan Ukraina semakin meningkat dari hari ke hari. Mereka didatangkan dari seluruh penjuru negeri, termasuk wilayah Rusia Timur Jauh yang berbatasan langsung dengan Korea Utara, Cina, dan Jepang.

Pada 21 Februari 2022, Rusia menjadi negara pertama yang mengakui keberadaan Republik Rakyat Luhansk dan Republik Rakyat Donetsk.

Terletak di wilayah Ukraina Timur, Luhansk dan Donetsk (Donbas) dikuasai oleh kelompok separatis yang ingin memisahkan diri dari Ukraina. Mereka telah bercokol disana sejak tahun 2014.

Mayoritas penduduk Ukraina Timur sendiri berasal dari etnis Rusia, berbeda dengan Ukraina Barat dan Tengah yang didominasi etnis Ukraina.

Tak heran, ketika pemerintahan Presiden Viktor Yanukovych yang pro-Rusia digulingkan, masyarakat Ukraina Timur marah besar.

Mereka mengadakan demonstrasi untuk menandingi Euromaidan, gerakan rakyat di Kyiv yang menjadi faktor utama kejatuhan Yanukovych.

Sementara di Krimea, wilayah otonom Ukraina yang juga didominasi etnis Rusia, parlemen (setara DPRD) setempat menuntut agar daerah mereka bergabung dengan Rusia.

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Rusia, yang merasa terancam dengan rencana bergabungnya Ukraina dengan Uni Eropa dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Pasalnya, dengan masuk kedua organisasi tersebut, Ukraina secara resmi menjadi sekutu AS dan negara-negara Barat.

Padahal, AS merupakan musuh utama bagi Rusia, bahkan sejak Uni Soviet masih ada. Negeri Paman Sam selalu berusaha mengganggu stabilitas politik dan ekonomi Rusia dengan jargon demokrasi dan hak asasi manusia.

Kebetulan, Rusia memang telah dipimpin Putin selama 22 tahun. Masa jabatan yang sangat lama tersebut tentu tidak mencerminkan demokrasi.

Apalagi, pemerintahan Putin dikenal anti-kritik dan gemar memenjarakan lawan politik. Sempurna sekali, bukan?

Mendengar "permintaan" rakyat disana, Putin langsung mengirimkan pasukan untuk menyerbu Krimea. 

Aksi ini memicu ketegangan di dunia internasional. AS dan Uni Eropa (UE) mengecam aneksasi Krimea, yang dianggap sebagai "agresi" dan "pelanggaran kedaulatan negara lain"

Sementara Ukraina, yang ketika itu baru dipimpin oleh Presiden Petro Poroshenko, segera mengambil langkah untuk menggagalkan ulah Rusia.

Pada 15 April 2014, Verkhovna Rada (Parlemen Ukraina) melarang warga mereka untuk bepergian ke Krimea. Pemerintah Ukraina juga menutup kanal utara Krimea, yang selama ini memasok sebagian besar kebutuhan air di Krimea

Akibatnya, sejumlah lahan pertanian disana mengalami kekeringan yang cukup parah, berimbas pada menurunnya produksi pangan. 

Namun, semua itu tidak berhasil mengusir Rusia. Mereka terus bercokol di Krimea dan Donbas hingga saat ini.

Delapan tahun kemudian, rencana Ukraina yang semakin serius bergabung ke NATO dan UE membuat Rusia berang. Putin mulai mengambil sikap keras yang tidak pernah terlihat sebelumnya.

Dalam esainya berjudul On The Historical Unity of Russians and Ukrainians, Putin menganggap Rusia dan Ukraina pada dasarnya merupakan "satu bangsa yang sama".

Hal ini dikarenakan kedua negara merupakan keturunan dari Kievan Rus, kerajaan kuno yang berpusat di Kyiv (ibukota Ukraina saat ini).

Maka dari itu, rencana bergabungnya Ukraina ke dalam NATO dan UE merupakan "kesalahan besar" yang harus segera dihentikan. 

Kurang dari setahun setelah esai tersebut diterbitkan, Rusia menyerang Ukraina dari segala penjuru. Apartemen, balai kota, jalanan, dan fasilitas umum lainnya tidak luput dari serangan bom.

Akibatnya, rakyat Ukraina harus meninggalkan tempat tinggal mereka dan mengungsi ke sejumlah negara. Seperti Polandia, Jerman, Moldova, dan Romania.

Warga Irpin, Ukraina mengungsi setelah kota mereka dihujani bom oleh pasukan Rusia | BBC

Saat invasi berlangsung, Putin mengancam akan memberikan "balasan mematikan" kepada setiap pihak yang mencoba menghalangi pergerakan Rusia, khususnya AS dan anggota NATO.

Ancaman tersebut tentu tidak main-main, apalagi Rusia adalah satu negara yang memiliki senjata nuklir. Salah sedikit bisa memicu perang nuklir. Ratusan juta, bahkan miliaran orang di seluruh dunia akan tewas sia-sia.

Itulah alasan terbesar mengapa NATO tidak terlibat langsung dalam perang ini. Padahal, Ukraina sangat membutuhkan bantuan mereka. 

Meski demikian, Ukraina tidak menyerah. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky memutuskan untuk bertahan di Kyiv demi memimpin perjuangan rakyat melawan invasi Rusia.

Karena keputusannya, Zelensky menjadi target nomor satu pasukan Rusia. Sepanjang bulan Maret ini, ia telah lolos dari tiga upaya pembunuhan.

Khawatir dengan keselamatan sang presiden, AS telah menawarkan bantuan evakuasi kepada Zelensky. Namun, tawaran ini ditolak oleh mantan aktor berusia 44 tahun itu.

"Pertempuran ada disini. Saya membutuhkan amunisi, bukan tumpangan," tegas Zelensky.

Pernyataan tersebut sontak menjadi viral di seluruh dunia, karena menunjukkan keberanian Zelensky dalam melawan invasi Rusia. 

Semangat rakyat Ukraina, yang sempat ketakutan dan putus asa, kembali berkobar. Dengan bermodal batu, bom molotov hingga senjata rakitan, mereka berusaha melawan pasukan Rusia dengan segala cara.

Bahkan, sejumlah pengungsi Ukraina di luar negeri kembali untuk ikut mempertahankan tanah air.

Dengan demikian, pertempuran berlangsung semakin sengit. Tak ada yang tahu kapan perang akan berakhir.

Indonesia sang juru selamat?

Presiden Joko Widodo mengetok palu untuk menerima presidensi G20 | Antara

Pada 1 Desember 2021, Indonesia resmi menerima presidensi G20. Artinya, selama setahun Indonesia akan memimpin kelompok 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia.

Rusia bersama dengan AS, Inggris, Prancis, dan Jerman merupakan anggota G20. Maka dari itu, kepemimpinan Indonesia seharusnya dapat mempengaruhi negara-negara tersebut, termasuk soal konflik di Ukraina.

Indonesia bisa mendesak pihak yang bertikai untuk membawa masalah ini ke meja perundingan. 

"Walau G20 ini forum ekonomi, keuangan, dan pembangunan, tapi melihat concern yang sangat utama pada stabilitas global dan regional," kata Riza Noer Arfani, pakar hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada (UGM).

"Itu penting bagi Indonesia untuk mengutarakan kepemimpinan di G20 dengan menyerukan kedua belah pihak menghentikan langkah-langkah militer dan duduk di meja perundingan"

Menurut Riza, sebenarnya tidak ada dampak langsung perang Rusia dan Ukraina terhadap Indonesia. Namun, bila semakin berlarut tentu mempengaruhi investasi dan perdagangan kedua negara. Selain itu, ancaman perang dingin kedua antara Blok Barat dan Timur kian nyata.

"Dan Indonesia cukup tidak punya kepentingan, kita bukan negara dengan nuclear capability, sehingga seharusnya bisa memegang peran lebih dalam," jelas Riza.

Hingga saat ini, Indonesia belum mengambil kebijakan besar yang mampu menghentikan konflik Kyiv dan Moskwa. Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) baru menyerukan perdamaian melalui cuitan Twitter.

"Setop perang, perang menyengsarakan manusia," demikian bunyi cuitan Jokowi.

Tidak jelas apakah Indonesia akan mengagendakan resolusi konflik berlandaskan Sherpa Track, yang mengaitkan isu kemanusiaan dan krisis ekonomi global, mengingat Rusia juga akan hadir dalam KTT G20 di Bali dan Jakarta, November mendatang.

Kehati-hatian Indonesia dalam menyikapi perang Rusia dan Ukraina sangat berbeda dibandingkan respon terhadap konflik Israel-Palestina. Jakarta secara tegas mengutuk dan menolak membangun hubungan diplomatik dengan Israel.

"Indonesia tidak ingin memberi kesan memihak dalam pertarungan sisa-sisa dari Perang Dingin, antara AS dan Uni Soviet, yang sekarang NATO, Ukraina dan Rusia," terang Aleksius Jemadu, Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan.

"Ini adalah pertarungan antara negara besar, dan kita tidak ingin memihak"

Dugaan lain, menurut Jemadu yaitu "ada satu kepentingan Indonesia dan tidak mau dikorbankan, yaitu menjaga jarak yang sama dengan semua kekuatan besar, agar kepemimpinan Indonesia dalam G-20 berhasil"

Suzie Sudarman, pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia, melihat sikap hati-hati itu dipengaruhi oleh dua faktor.

Pertama, Indonesia membutuhkan Rusia sebagai mitra investasi strategis, dan kekuatan untuk mengimbangi Cina di Natuna dan Laut Cina Selatan. Kedua, tidak ada tekanan dalam negeri yang memaksa pemerintah untuk tegas atas serangan Rusia ke Ukraina

"Kalau konflik Israel-Palestina itu menghimpun suara Islam di Indonesia," terang Suzie.

"Sedangkan perang Ukraina, membela orang kulit putih yang rambutnya blonde (pirang) dan bermata biru, itu tidak menarik di dalam negeri"

Turis Ukraina menggelar aksi unjuk rasa menentang invasi Rusia di Bali | Tribunnews

Sementara itu, Kedutaan Besar Ukraina di Jakarta telah meminta pemerintah Indonesia untuk bersuara lantang menentang invasi Rusia.

Dalam keterangan tertulis, Ukraina menegaskan tidak akan bertekuk lutut terhadap ancaman kematian, seperti Indonesia yang tidak menyerah ketika menghadapi agresi Belanda.

"Kami akan berdiri tegak dan meraih kemenangan. Namun dengan dukungan Anda, maka kemenangan dapat kami raih dengan lebih mudah, lebih pasti dan lebih cepat"

"Rakyat Indonesia, keadaan saat ini sungguh berat dan menyakitkan bagi kami. Oleh karena itu, kami menunggu dukungan Anda. Kami berharap dapat mendengar suara Anda yang lantang dan berani dalam membela kami," tulis mereka.

Berdasarkan catatan sejarah, Ukraina merupakan pendukung utama perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1940-an. Meski ketika itu menjadi bagian Uni Soviet, Ukraina merupakan salah satu pendiri PBB. Mereka memiliki posisi yang sama dengan negara berdaulat lainnya.

Dengan adanya dukungan dari Ukraina, Indonesia langgeng sebagai negara merdeka, dan agresi militer Belanda menjadi isu penting di PBB.

"Diplomatnya (Ukraina) membawa isu Indonesia saat AS belum berpihak pada Indonesia, itu satu hal yang harus kita ingat," kata Suzie.

"Belarus dan Ukraina memperjuangkan isu Indonesia untuk dibahas ke PBB, pada saat AS kurang menarik pada Indonesia karena masih berpihak pada Belanda"

Maka dari itu, Indonesia harus menunjukkan sikap tegas terkait perang Rusia dan Ukraina.

"Indonesia harus menyatakan dengan tegas bahwa Rusia melakukan invasi. Itu bukan politik naming dan shaming. Tapi sikap dari prinsip Konferensi (Asia-Afrika) Bandung yang menekankan penghormatan pada kedaulatan," kata Nanto Sriyanto, Pengamat hubungan internasional dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Jika tidak, sikap Indonesia yang hati-hati berpotensi menjadi bumerang.

"Ketidaktegasan Indonesia menciptakan institutional memory dalam diplomasi. Dan bisa menjadi bumerang di masa depan. Kedaulatan adalah norma luhur dalam hukum internasional dan ketika itu dilanggar, Indonesia harus berdiri tegak membela itu," tambahnya.




















Banner iklan disini